“Untaian Kata untuk Sahabat”
Sebuah cerita tentang arti penting sebuah persahabatan yang khusus saya persembahkan untuk seorang sahabat terbaik yang pernah saya miliki
“Untaian Kata untuk Sahabat”
“Mengapa buku-buku Dek Virda selalu bercerita tentang persahabatan seorang anak seusia Dek Virda ?” tanya seorang wartawan.
“Mungkin karena saya menginginkan seorang sahabat seperti yang ada pada buku karangan saya,” jawabku.
“Jadi selama ini, Dek Virda tidak memiliki seorang sahabat pun ?” tanya wartawan lagi.
“Belum, tapi saya percaya, suatu saat saya akan mendapatkannya,” jawabku lagi.
Namaku Virda Anastasia Salma. Tidak ada yang istimewa pada diriku, kecuali kenyataan bahwa aku seorang penulis muda yang sakit-sakitan. Aku tidak memiliki seorang pun sahabat bahkan sampai usiaku menginjak 14 tahun ini. Aku tidak bersekolah seperti anak-anak pada umumnya, karena aku mengikuti program home schooling sejak usiaku 3 tahun. Orang tuaku berpendapat bahwa bersekolah di sekolah pada umumnya, akan memperparah penyakitku yang sudah parah ini. Mungkin itu sebabnya aku sama sekali tidak memiliki seorang sahabat. Sejak kecil aku telah divonis memiliki penyakit gagal jantung, dan itu sudah memudarkan semangatku. Hanya dengan menulis, aku dapat memiliki harapan lagi, meskipun aku tahu, waktuku untuk menulis tidak lama lagi. Hari ini peluncuran bukuku yang kelima. Seperti buku-bukuku sebelumnya, bukuku kali ini juga bercerita tentang persahabatan. Sepertinya, aku menulisnya sebagai perwujudan harapan-harapanku akan seorang sahabat. Aku berharap suatu saat nanti, aku menemukan seorang sahabat yang mau menerimaku apa adanya, mengingat aku sakit-sakitan, dan itu membuat diriku selalu menyusahkan orang lain.
“Ayo kita pulang Virda, peluncuran bukumu sudah selesai kan ? Kamu harus banyak istirahat, ingat penyakitmu semakin membahayakan !” kata Mamaku.
“Iya, Ma,” jawabku dan berjalan keluar bersama Mamaku dari toko buku tempat peluncuran bukuku yang kelima.
Kini, aku berada di dalam mobil sambil melihat keluar jendela. Banyak sekali anak-anak seusiaku yang berjalan bersama teman-temannya. Seandainya aku bisa menjadi salah satu di antara mereka, hidupku akan lengkap, meskipun aku tahu tidak akan lama.
“Ya ampun ! Mama lupa, Papamu meminta Mama untuk membeli stik golf yang baru, karena besok Papamu harus mengikuti pertandingan golf. Kita mampir ke mal terdekat ya Vir, Mama harus ke toko alat-alat olahraga dulu,” kata Mamaku.
“Ya sudah, ayo kita kesana,” jawabku.
Aku sampai di mal yang cukup dekat dengan apartmenku, di daerah Jakarta. Aku memang tinggal di pusat kota Jakarta, karena itu apartmenku dekat dengan mal dan daerah-daerah perkantoran di Jakarta. Mamaku tidak memarkir mobil di basemant, tetapi di tempat parkir terbuka yang terletak persis di depan mal, mungkin itu karena ia terburu-buru. Aku turun dari mobil, dan berjalan mengikuti Mamaku yang tergesa-gesa. Aku cukup tertinggal di belakang, itu karena aku tidak dapat berjalan cepat seperti Mamaku, seperti biasa, ini persoalan penyakitku yang sangat merepotkan.
“Hei kamu ! Kamu yang berbaju biru !” teriak seseorang. Sepertinya teriakan itu tertuju padaku, karena setelah kulihat, di depan mal itu tidak ada seorang pun yang berbaju biru selain diriku. Aku menoleh mencari asal suara itu, dan terlihat seorang anak yang membawa setumpuk koran berlari menghampiriku.
“Ini dompetmu ?” tanya anak itu sambil memberikan sebuah dompet yang juga berwarna biru.
“Iya, bagaimana kamu bisa mendapatkannya ?” tanyaku sambil menerima dompetku kembali.
“Aku melihatmu menjatuhkannya ketika kamu keluar dari mobil. Mobil sedan berwarna merah metalik itu milikmu kan ?”
“Iya, makasih ya,” jawabku.
“Periksa dulu isinya, aku takut ada yang hilang,”, kata anak itu. Aku membuka dompetku dan memeriksa isinya.
“Sepertinya tidak ada yang hilang, makasih ya,” kataku.
“Ya sama-sama. Oh ya, perkenalkan, namaku Rara, namamu siapa ?” tanya anak itu sambil mengulurkan tangannya padaku.
“Namaku Virda,” jawabku sambil menerima uluran tangannya.
“Baiklah, senang berkenalan denganmu, dan jangan sampai dompetmu terjatuh lagi ya, karena tidak banyak orang yang sepertiku loh ! hahaha,” kata anak itu sambil tertawa.
“Hahaha, iya aku akan lebih berhati-hati,” jawabku yang juga sambil tertawa.
“Kalau begitu, aku harus pergi. Kau lihat koran-koran yang kubawa ini ? Ini semua harus laku terjual hari ini. Jadi, sampai jumpa !” kata anak itu sambil berlalu pergi.
Aku terus memperhatikan anak yang sekarang berjalan menjauh itu. Namanya Rara, aku tidak tahu nama panjangnya, karena ia tidak menyebutkannya. Sepertinya ia seorang loper koran, karena ia membawa setumpuk koran yang katanya harus laku terjual hari ini. Penampilan Rara cukup memprihatinkan, karena ia memakai kaos yang kebesaran dan kumal, itu belum termasuk lubang-lubang kecil di bagian pundak dan punggungnya. Celana selutut yang ia kenakan juga sangat kotor, seakan sudah dua minggu tak dicuci. Rambutnya juga tidak terawat dan berantakan. Namun entah mengapa, aku melihatnya berbeda. Ia seakan memiliki sesuatu yang dapat membuat orang lain senang padanya. Ia seperti seorang anak perempuan yang sangat mandiri dan tegar. Aku berpikir, apakah aku bisa bertemu dengannya lagi ?
“Virda ! Kamu kemana saja ? Mama mencarimu dari tadi ! Ayo ikut Mama masuk, dan mencari stik golf untuk Papamu di toko alat-alat olahraga !” kata Mamaku yang tiba-tiba berada di sebelahku. Aku mengikutinya masuk ke dalam mal dan mencari stik golf untuk Papaku.
“Tidak bisa sekarang, sayang. Mama sedang bekerja. Mama tidak bisa meninggalkan kantor hanya untuk mengantarmu membeli buku,” kata Mamaku di telepon.
“Tapi Virda butuh buku itu sekarang, Ma. Virda baru ingat, besok Virda ada tes Fisika oleh Ka Indah. Mama mau nilai Virda jelek ?” jawabku.
“Baiklah baiklah, kamu minta tolong Pak Suryo buat nganter kamu ke toko buku ya,” kata Mamaku.
“Makasih, Ma,” jawabku. Meskipun aku mengikuti program home schooling, tetapi tetap saja ada ulangan dan PR-nya. Ka Indah adalah guru program home schooling-ku. Aku pergi ke toko buku dengan di antar oleh Pak Suryo yang merupakan supir keluargaku. Mobilku berjalan melintasi keramaian kota Jakarta, hingga sampai di toko buku. Aku membeli buku yang kuperlukan dan sebuah novel yang kukira menarik. Kini aku berada di dalam mobil, melihat keluar para peminta-minta yang berkeliaran saat lampu merah menyala. Aku melihat ke depan, ada seorang anak perempuan yang sepertinya kukenal. Ia sedang menjajakan koran ke setiap mobil yang berhenti.
“Rara Rara !” teriakku. Anak perempuan itu menoleh. Ia tersenyum dan menghampiri mobilku.
“Virda ! Kita ketemu lagi,” kata Rara.
“Ayo naik mobilku, aku ingin melihat rumahmu,” kataku.
“Tapi……………………………..,” kata Rara. Kalimatnya terpotong.
“Ayo cepat ! Sebentar lagi lampu hijau menyala !” kataku. Rara membuka pintu mobilku dan duduk di sebelahku. Seperti dugaanku, lampu hijau menyala, dan mobilku kembali berjalan.
“Bagaimana dengan koran-koranku ini Vir ? Memang tinggal sedikit, mungkin tinggal 15 koran lagi, tapi kan harus laku semua !” kata Rara dengan sedikit panik.
“Tenang, berapa harga keseluruhan koran-koranmu itu ?” tanyaku.
“Tunggu sebentar, kuhitung dulu,” kata Rara sambil bergumam menjumlahkan harga-harga pada 15 korannya.
“Mungkin sekitar Rp 36.000, memangnya kenapa ?” kata Rara lagi.
“Baiklah, Rp 36.000 ya. Ini,” kataku sambil menyerahkan selembar uang dua puluh ribu-an, selembar uang sepuluh ribu-an, selembar uang lima ribuan, dan selembar uang seribu-an.
“Untuk apa uang ini ?” tanya Rara.
“Untuk membeli semua koranmu itu, jadi kamu tidak perlu khawatir lagi,” jawabku.
“Serius ? Kamu ingin membeli semua koranku ?”
“Tentu saja, memangnya wajahku menunjukan aku sedang bercanda ?”
“Tidak sih, wah, makasih ya ! Kamu baik sekali !”
“Iya, tidak masalah, namun ingat, kamu harus bawa aku ke rumahmu ya, “
“Untuk apa kamu ke rumahku ? Rumahku jelek banget ! Kamu tidak akan suka,”
“Aku ingin tahu rumahmu dimana, sekalian main. Tidak masalah rumahmu jelek atau tidak, yang penting kan kamu dapat tinggal di dalamnya. Lagian kamu tidak akan tahu, aku akan suka pada rumahmu atau tidak kan ?”
“Ya, baiklah, tapi aku sarankan, kamu tidak perlu ke rumahku,”
“Sudahlah, tidak apa-apa,”
Rara membawaku pergi ke tempat yang terpencil, meskipun letaknya tidak jauh dari toko buku dan tetap berada di tengah kota Jakarta, namun aku hampir tidak pernah melihat daerah itu. Mobilku berhenti, dan aku menyuruh Pak Suryo untuk menunggu. Aku berjalan mengikuti Rara. Hingga sampai pada sebuah rumah yang terbuat dari kardus. Kardus itu disusun hingga menjadi sebuah rumah. Kukira rumah kardus seperti itu hanya ada di sinetron-sinetron, tapi ternyata tidak. Aku melihatnya secara langsung dengan mata kepalaku sendiri. Rumah kardus itu cukup besar dan bagus. Aku bingung, bagaimana caranya membangun rumah kardus sebesar dan sebagus itu ? Dari dalam kardus itu, keluar banyak anak-anak yang umurnya lebih muda dari Rara, dan ada dua orang yang sepertinya umurnya lebih tua dari Rara.
“Perkenalkan, ini semua keluargaku,” kata Rara.
“Semua ? Keluargamu ?” tanyaku tidak percaya.
“Iya ! Kenapa ? Bingung ya ? Mereka memang bukan keluarga kandungku, namun aku tinggal serumah dengan mereka di rumah ini, dan aku menganggap mereka semua saudaraku,” jawab Rara.
“Oh, begitu. Apa mereka semua……...,” pertanyaanku terpotong karena aku tidak enak melanjutkan kalimatku.
“Yatim piatu ? Benar, mereka yatim piatu. Selain itu, mereka juga kesulitan uang. Mereka tidak mau tinggal di panti asuhan, karena itu, aku mengajak mereka tinggal bersama. Aku khawatir terjadi sesuatu yang buruk pada mereka yang masih kecil itu. Aku juga seorang yatim piatu loh. Aku dan mereka semua, berjuang untuk mempertahankan hidup. Kami bekerja apa saja, asalkan halal,” kata Rara yang mengetahui apa yang ingin aku tanyakan.
“Wah ! Hebat sekali kalian ! Oh ya, ngomong-ngomong, berapa umurmu ?” tanyaku.
“Makasih, umurku 14 tahun. Kenapa ?” tanya Rara.
“Tidak, aku hanya bertanya. Berarti kita seumuran loh,” kataku.
“Oh ya ? Wah, kebetulan sekali. Sudahlah, ayo masuk ke rumah kami,”jawab Rara.
Aku masuk ke rumah kardus itu. Kesan pertama adalah, rumah itu berantakan, dan aku dapat memakluminya. Aku memperhatikan setiap sudut rumah itu. Sepertinya, mereka tidur di atas tikar yang cukup kasar. Aku melihat sesuatu di atas tikar, sepertinya sesuatu itu sangat kukenal. Aku meraih benda itu. Itu buku yang berjudul ‘Nada-Nada Persahabatan’, dan itu buku karanganku. Buku itu cukup terawat.
“Itu novel kesukaanku. Aku suka sekali sama penulisnya. Ia bisa menggambarkan persahabatan seorang anak seusia kita dengan sempurna. Berdasarkan biografinya, penulis itu umurnya sama dengan kita loh, namun di biografi itu tidak ada foto sang penulis. Ia sangat hebat, penulis muda yang sangat berbakat. Seandainya saja aku bisa bertemu dengannya. Hahaha,” kata Rara sambil tertawa. Aku hanya terdiam.
“Oh ya ! Mau lihat novel-novel yang lain ? Tunggu sebentar ya !” kata Rara lagi. Ia berjalan ke arah sebuah rak kayu kecil, yang kuyakin rak itu merupakan hasil karyanya sendiri. Ia mengeluarkan tiga buku lain dari dalam rak itu.
“Ini ! Semua novel yang kumiliki berjumlah 4 buah. Semuanya ditulis oleh penulis yang sama. Aku memang sangat mengidolakannya, meskipun aku belum pernah sekalipun bertemu dengannya. Novelnya selalu bercerita tentang persahabatan, aku suka sekali dengan cerita-ceritanya itu. Oh ya, lihat nama penulis itu, Virda Anastasia Salma. Nama depannya sama dengan namamu ya Virda. Beruntung sekali namamu bisa sama dengan nama penulis muda berbakat itu,” kata Rara lagi. Aku benar-benar terkejut sekarang. Sepertinya Rara sangat mengagumiku. Aku tidak bisa memberitahunya bahwa aku-lah penulis itu. Aku takut jika ia tahu, ia akan melihatku dengan berbeda. Aku takut, ia akan sungkan untuk bermain denganku.
“Wah, aku harus ke kamar kecil nih ! Kamu tunggu disini ya Vir, aku mau ke rumah tetangga dulu, aku mau menumpang buang air kecil. Dah…,” kata Rara sambil berlalu pergi. Aku berdiri kebingungan disana. Empat buah buku karanganku masih tergenggam erat di tanganku.
“Novel-novel itu bagus ya. Penulisnya sangat pintar bercerita,” kata seseorang yang tiba-tiba ada di dekatku. Aku menoleh, ternyata itu kakak angkat Rara.
“Namaku Dini, namamu Virda kan ?” tanya orang itu.
“Iya Ka,” jawabku.
“Wah, namamu sama dengan nama depan penulis itu ya. Rara sangat mengagumi penulis novel itu. Ia sampai berjuang untuk mendapatkan semua novel karangan penulis itu. Rara bekerja menjajakan koran hingga malam, sehingga ia mendapat uang lebih, dan ia mengumpulkannya untuk membeli novel-novel tersebut. Aku dengar, penulis itu baru mengeluarkan novel kelimanya, namun aku tidak memberitahu Rara, karena aku takut, jika ia tahu, ia akan bekerja keras sampai malam lagi, hingga ia sakit seperti dulu,” kata Ka Dini.
“Sakit ?” tanyaku.
“Iya, sakit. Aku akui novel itu memang sangat bagus, dan aku juga ingin membaca yang kelima, namun aku tidak bisa membiarkan adikku sakit hanya karena berusaha mendapatkan novel itu secara halal. Aku tahu prinsip adikku, sesulit apa pun kondisi keuangannya, ia tidak akan pernah mengambil jalan haram untuk mendapatkan keinginannya,” kata Ka Dini. Aku hanya terdiam. Aku semakin takut mengakui diriku-lah yang menulis novel itu. Aku memang sangat senang, karena ada yang menyukai bukuku hingga seperti itu, namun rasa bersalahku lebih besar dari rasa senangku. Rara kembali ke rumah itu. Ia menghampiriku.
“Maaf, aku lama ya. Wah, ada Ka Dini. Virda, Ka Dini juga menyukai novel itu loh,” kata Rara padaku.
“Iya, Ka Dini cerita banyak hal padaku tadi. Sepertinya hari semakin sore, aku harus segera kembali. Besok aku akan menemuimu lagi, tapi besok kamu yang harus main ke rumahku ya,” kataku pada Rara,
“Baiklah, akan kuusahakan untuk menjual semua koran sebelum kamu datang menjemputku,” jawab Rara. Aku mengeluarkan sebuah buku dari tasku. Itu novel kelima karanganku. Masih baru, kebetulan aku membawanya di dalam tasku.
“Ini untukmu,”kataku sambil menyerahkan novel itu pada Rara. Aku melirik Ka Dini, ia terlihat sangat terkejut.
“Wah, ini novel terbaru karangan Virda Anastasia Salma ?” tanya Rara, terlihat sekali ia sangat senang menerima novel itu.
“Iya, peluncuran buku terbarunya baru diadakan 4 hari yang lalu,” jawabku.
“Wah, itu berarti saat pertama kali kita ketemu ya ? Waktu di depan mal itu,”
“Iya, makasih waktu itu kamu ngembaliin dompetku ya,”
“Iya, gak masalah. Baiklah, kamu ingin pulang kan ? Aku antar sampai tempat mobilmu ya,”
Keesokan harinya, setelah aku menyelesaikan ulangan Fisika-ku dalam program home schooling, aku kembali pergi menemui Rara. Aku pergi menemui Rara di rumah kardusnya. Ternyata ia memang ada disana. Ia telah berhasil menjual seluruh korannya pagi tadi. Rara pun ikut denganku menuju apartmenku. Kami sampai di apartmenku, Rara terlihat sangat mengagumi bangunan apartmen yang memang sangat besar.
“Wah, kamu tinggal di apartmen yang sangat mewah Virda. Kamu pasti orang yang sangat kaya,” kata Rara padaku.
“Tidak juga, ayo masuk ke ruang apartmenku,”kataku. Aku dan Rara masuk ke ruang apartmen. Mamaku sudah menunggu.
“Jadi ini teman yang kamu maksud Virda ?” tanya Mamaku.
“Ya, Ma. Namanya Rara,” kataku.
“Selamat sore, Tante,” kata Rara.
“Sore, kalian sudah makan ?” tanya Mamaku.
“Belum,” jawabku bersamaan dengan Rara.
Mama sangat dekat dengan Rara. Sepertinya Mama dapat memaklumi keadaan Rara. Rara pulang dengan di anatar oleh Pak Suryo, Mama melarangku ikut mengantarnya karena Mama khawatir akan penyakitku.
“Ma, tolong jangan bilang ke Rara soal penyakit Virda,” kataku pada Mama.
“Kenapa ? Kamu takut dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia memiliki teman sakit-sakitan sepertimu ?” tanya Mama.
“Iya,” jawabku.
“Tenang saja, sepertinya Rara bukan tipe orang seperti itu,” kata Mama.
“Tetap tidak bisa, Ma, dan jangan bilang bahwa aku Virda Anastasia Salma, seorang penulis muda,” kataku.
“Kenapa ? Kamu takut dia akan sungkan padamu ?” tanya Mama.
“Iya,” jawabku.
“Baiklah,” kata Mama.
“Satu lagi, Ma. Rencananya, Virda ingin menulis tentang kehidupan anak-anak terlantar. Virda ingin mengambil rumah kardus tempat Rara dan anak-anak lainnya tinggal sebagai latar tempat,”
“Kamu tidak ingin menulis tentang persahabatan lagi ?”
“Tentu saja ingin. Buku Virda selanjutnya akan bercerita tentang kehidupan anak-anak terlantar yang di warnai dengan cerita persahabatan, jadi Virda akan sering main ke rumah kardus tempat Rara tinggal,”
“Tapi kamu jangan sampai melupakan penyakitmu itu, Vir. Ingat, penyakitmu semakin parah. Kamu tidak boleh terlalu capek,”
“Iya, Ma. Virda nggak akan lupa soal itu,”
Aku mengunjungi rumah kardus tempat Rara tinggal, hampir setiap hari. Rumah kardus itu telah menjadi rumah kedua bagiku. Aku menemukan arti sebenarnya keluarga disana. Kami bermain, belajar, dan bekerja bersama. Sedikit demi sedikit, aku bisa membantu Rara menjajakan koran, meskipun koran yang dapat kujual hanya sebatas 4 hingga 5 ekslempar. Tentu saja ini masalah penyakitku, jika aku terlalu lelah karena menjajakan banyak koran, aku khawatir penyakitku kambuh dan Rara serta teman-teman lain di rumah kardus itu mengetahui penyakitku.
“Hei, kamu tidak bersekolah ?” tanyaku pada Rara.
“Tidak ada satu pun anak yang tinggal di rumah kardus ini bersekolah, kamu pasti tahu alasannya kan ?” jawab Rara.
“Biaya ?”
“Tepat ! Gak ada lagi harapan kami untuk bersekolah, meskipun sekarang pemerintah telah mengumbar-umbar bahwa sekolah di gratiskan, tetapi tetap saja, ada biaya yang harus dikeluarkan. Mulai dari buku, alat tulis, seragam, hingga keperluan sekolah lain yang memerlukan biaya. Lagipula, sekolah gratis kan hanya sampai tingkat SMP. Bagaimana nasib Ka Dini dan Ka Shinta ? Mereka berdua kan sudah waktunya sekolah di tingkat SMA,”
“Tetapi, tidak ada salahnya mencoba loh. Sekolah tidak akan membuatmu rugi,”
“Sudahlah, sekolah hanya sebagai harapan, tidak lebih,”
“Itu tidak benar ! Sekolah dapat membuat hidupmu lebih baik dari sekarang !”
“Apa kamu bisa menjamin bahwa hidup kami akan jadi lebih baik dengan sekolah ? Dan jika kami semua sekolah, siapa yang akan mencari uang untuk makan ? Kamu tidak berpikir belajar lebih penting dari makan kan ? Soalnya kalau kami tidak makan, maka satu-satunya tempat yang menunggu kami adalah kuburan !”
“Aku memang tidak bisa menjamin, aku kan bukan Tuhan, tapi mencoba tidak akan membuat masalah kan ?”
“Sudahlah, bekerja lebih penting bagiku daripada sekolah”
Aku bisa mengerti kendala Rara. Ia salah satu dari 3 anak yang tertua di rumah kardus, ia memiliki tanggung jawab besar atas adik-adik angkatnya. Ia harus bekerja keras membanting tulang, agar setidaknya mereka bisa makan sesuap atau dua suap nasi. Aku sering melihat raut muka lelah dibalik senyum Rara. Aku benar-benar merasa bersyukur karena aku termasuk orang yang sangat berkecukupan. Sekarang, aku, Rara dan adik-adik yang tinggal di rumah kardus, sedang bermain lempar bola bersama.
“Rara, ikut Kakak sebentar,” kata Ka Shinta, kakak angkat Rara.
“Iya Ka,” jawab Rara.
Rara berjalan mengikuti Ka Shinta menuju sisi belakang rumah kardus, sedangkan aku masih bermain bola. Tiba-tiba, bola yang dilempar oleh Intan melesat jauh melewati garis pembatas yang telah kami buat untuk keperluan bermain lempar bola ini.
“Tunggu, akan kuambil,” kataku pada anak-anak lain. Aku berjalan mencari bola itu, cukup sulit karena sepertinya bola itu jatuh di semak-semak.
“Kakak yakin tidak ada lagi ?” terdengar suara seorang anak perempuan, sepertinya aku mengenal suara itu. Aku mencoba mencari asal suara , dan ternyata itu suara Rara.
“Benar, bagaimana ini, Ra ? Kita semua bisa sakit perut karena tak makan,” kata Ka Shinta.
“Tapi ini sudah sore, Ka. Tak akan ada orang yang mau membeli koran dari loper koran lagi,” kata Rara.
“Tapi jika anak-anak sakit, kita akan lebih kesulitan, karena kita tak mungkin punya cukup uang untuk mengobati penyakit mereka,”
“Beri aku waktu, aku harus pikirkan suatu cara,”
“Ini akan jauh lebih mudah kalau saja kita memiliki uang yang cukup, tidak perlu kaya raya seperti Virda, tetapi berkecukupan. Itu saja,”
“Jangan mengkhayal yang tidak-tidak, syukuri saja yang sudah ada, ingat, masih banyak warga miskin lain yang tidak memiliki tempat tinggal, mereka tinggal di kolong jembatan dan emperan toko. Kita beruntung karena masih memiliki tempat tinggal, meskipun terbuat dari kardus,”
“Baiklah baiklah, hentikan ceramahmu itu. Pikirkan bagaimana caranya kita bisa makan hari ini !”
“Aku akan berusaha untuk hutang membeli makanan di warung seberang jalan. Aku akan membayarnya jika aku telah memiliki penghasilan bersih di luar biaya untuk makan sehari-hari,”
“Baiklah, cepat lakukan itu. Anak-anak akan meminta makanan dalam beberapa menit setelah ini,”
Rara berjalan menjauh. Aku tersentak, aku telah melakukan hal yang buruk. Mencuri dengar percakapan orang lain adalah hal yang sangat buruk, bukan begitu ? Aku berpikir, sulit betul kehidupan mereka. Aku tidak menyangka mereka begitu kesusahan hanya untuk mencegah sakit perut. Mereka kesulitan, bahkan hanya untuk mendapatkan nasi tanpa lauk. Aku harus melakukan sesuatu. Aku berlari menyusul Rara, secepat yang kubisa, seperti biasa, penyakitku ini mempersulit ruang gerakku.
“Rara Rara !” teriakku. Rara menoleh. Ia tersenyum. Senyumnya terlihat sangat dipaksakan.
“Ya ?” jawab Rara.
“Ini untukmu,” kataku sambil memberikan dua lembar uang seratus ribuan pada Rara.
“Banyak sekali ! Untuk apa ini ?” tanya Rara.
“Untuk membeli makanan bagi kamu dan seluruh anak yang tinggal di rumah kardus. Apa itu kurang ?”
“Tidak, malah ini terlalu banyak. Kau yakin ingin memberikan uangmu pada kami ?”
“Tentu saja, apa aku terlihat sedang bercanda ?”
“Tidak. Kalau begitu, makasih ya !” kata Rara sambil berlari menjauh. Ia tersenyum, dan kini senyumnya bukan lagi senyum yang dipaksakan, melainkan senyum ikhlas yang penuh rasa senang di dalamnya. Aku senang, karena akhirnya hasil jerih payahku menulis buku selama ini, dapat membantu orang lain. Uang itu adalah sebagian dari honor yang kuterima karena menulis buku kelimaku. Aku senang, kerana akhirnya uang itu terpakai untuk sesuatu yang lebih berguna daripada sekedar untuk membeli baju dan sepatu baru. Aku teringat, aku telah berhasil menulis tige per empat cerita untuk buku keenamku. Rancananya, besok aku akan menyelesaikan seperempat terakhir cerita itu. Aku berencana, honor yang behasil kuperoleh dari buku keenamku itu, akan kusumbangkan seluruhnya untuk Rara dan teman-teman tidak beruntung lainnya. Aku berharap, buku keenamku akan cepat selesai. Tiba-tiba, aku merasa ada sesuatu yang salah pada diriku. Dadaku sakit. Sakit sekali. Aku mencoba berjalan, sekuat yang kubisa. Sedikit demi sedikit, aku mampu mencapai tempat rumah kardus berada. Sebisa mungkin aku menahan rasa sakit di dadakku dan bertingkah seolah-olah tak ada sesuatu yang terjadi pada diriku.
“Lisa, sudah sore, kakak harus segera pulang. Tolong beritahu Ka Rara, kakak pulang duluan tanpa pamit padanya,” kataku pada Lisa, adik angkat Rara.
“Kenapa kakak tidak menunggu Ka Rara pulang ? Ia hanya pergi sebentar, tidak lama lagi ia akan kembali. Tunggulah sebentar,” kata Lisa.
“Tidak bisa, Mamaku sudah menelpon. Aku harus segera pulang. Sampaikan salamku untuknya ya,” kataku sambil berlalu. Aku berusaha sekuat tenaga untuk berbicara 2 buah kalimat tadi dengan wajar, karena sakit di dadaku ini sudah mempengaruhi cara bicaraku juga. Aku pun harus berbohong pada Lisa soal Mama yang menelpon, karena kalau aku tidak segera pulang, aku tidak akan dapat bertahan lebih lama disitu, dan mereka semua akan mengetahui penyakitku ini. Aku berjalan tertatih-tatih menahan sakit menuju mobil, dan aku berhasil, namun seketika itu juga semua menjadi gelap.
Aku berlari menuju rumah kardus sambil menjijing makanan. Ini semua berkat bantuan Virda. Virda memang orang kaya yang baik hati. Namaku Rara, ya, hanya Rara. Aku tidak memiliki nama depan atau nama belakang. Tak ada seorang pun yang mau repot-repot memberikanku sebuah nama. Cukup ironis, karena orang tuaku meninggal di perjalanan pulang dari rumah sakit. Ketika itu, 4 hari setelah aku dilahirkan, orang tuaku ingin membawaku pulang ke rumah mereka, namun malang, mobil orang tuaku menabrak truk. Sungguh suatu keajaiban, aku dapat bertahan hingga usiaku 14 tahun. Aku dipungut oleh seseorang yang menolong orang tuaku, namanya Bu Karim. Ketika menolong orang tuaku, ia juga mencari kartu identitas milik orang tuaku, tujuannya untuk mengembalikanku ke keluarga besar orang tuaku. Sayang, kartu itu tidak ditemukan. Bu Karim curiga, salah satu orang yang menolong orang tuaku telah mencuri dompet dan hp milik orang tuaku, karena tidak satupun dari barang penting itu yang tersisa. Bu Karim bukan seorang yang mampu, ditambah lagi ia memiliki penyakit darah tinggi yang sudah sangat parah. Penyakitnya semakin parah karena ia tidak mampu untuk berobat ke dokter. Kehidupan kami sangat sulit, bahkan hanya untuk makan sesuap nasi. Karena itu, sejak kecil aku tidak pernah sekolah, namun aku bisa membaca. Bu Karim yang mengajariku membaca, menulis, dan berhitung. Itulah satu-satunya modalku hingga sekarang. Bu Karim merawatku hingga usiaku 8 tahun, namun sejak awal, aku tahu ia tidak akan bisa bertahan lama merawatku. Ia meninggal, dan rumah kami digusur. Aku terpakasa berkeliling mencari kerja. Awalnya tak ada yang mau menerimaku, mengingat usiaku yang masih 8 tahun, namun ada seorang yang berbaik hati yang memberiku pekerjaan sebagai loper koran. Aku memang bertekad untuk tidak pernah mencuri atau mencari pekerjaan haram agar aku bisa makan. Bu Karim telah menekankan aku soal itu sejak dulu. Ia berkata, meskipun kita miskin di mata rakyat dan negara, namun jangan sampai kita miskin di mata Tuhan. Oleh karena itu, aku selalu berusaha untuk mendapatkan sesuatu dengan halal. Aku membangun rumah dari kardus bekas. Awalnya rumah itu sangat kecil, hingga aku bertemu teman-temanku yang bernasib sama denganku. Mereka kuajak tinggal bersamaku, kami membangun rumah kardus itu bersama-sama, dan akhirnya rumah kardus itu sudah seperti rumah sungguhan, meskipun ketika hujan, kami akan bersusah payah mengangkut kardus-kardus itu ke tempat teduh. Tuhan memberikanku suatu berkah yang tak ternilai harganya, yaitu Virda. Tiga bulan yang lalu tepatnya. Aku bertemu Virda di lapangan parkir sebuah mal. Aku tak menyangka, aku telah bertemu dengan seoang anak yang sangat baik. Aku telah sampai di rumah kardus. Aku berkeliling mencari Virda, seharusnya ia menungguku disitu, karena tadi aku sudah mengingatkannya untuk menungguku.
“Nis, kamu lihat Ka Virda gak ?” tanyaku pada Nisa, adik angkatku.
“Enggak lihat Ka. Coba kakak tanya sama Lisa saja,” jawab Nisa. Aku mencoba mencari Lisa, dan ternyata ia sedang bermain lempar bola.
“Lis, kamu lihat Ka Virda ?” tanyaku pada Lisa.
“Oh iya Ka, tadi Ka Virda pesan, ia harus segera pulang. Kata Ka Virda, maaf gak bisa pamit ke kakak, soalnya Mamanya Ka Virda sudah nelpon Ka Virda, dan menyuruhnya pulang. Ka Virda juga nitip salam untuk kakak,” jawab Lisa.
“Oh, ya sudah kalau begitu. Ini kakak sudah beli makanan, kita makan dulu ya,”
Kami makan bersama. Ini semua berkat Tuhan yang telah mengirimkan Virda pada kami. Virda mau memberikan uangnya agar kami bisa makan enak seperti ini.
“Ka, aku menemukan sesuatu nih,” kata Mia sambil memberikan sesuatu padaku. Itu sebuah dompet. Dompet berwarna biru.
“Ini punya Virda. Ya ampun, lagi-lagi dia menjatuhkannya, padahal aku sudah memperingatkannya untuk lebih berhati-hati,” kataku.
“Kalau begitu, besok kita kembalikan saja, Ka. Biasanya Ka Virda datang kesini setiap hari kan ?” kata Mia, ia juga merupakan adik angkatku.
“Baiklah, biar kusimpan dompet ini di tempat yang aman,” kataku.
Perkiraan Mia meleset. Virda tidak datang keesokan harinya. Kenapa ya ? Ah mungkin ia hanya lelah, atau ia harus mengikuti ujian di program home schooling-nya. Akan kutunggu hingga besok, mungkin ia akan datang esok hari. Perkiraanku salah, cukup sudah. Dua hari Virda tidak datang ke rumah kardus. Aku harus mengembalikan dompetnya langsung ke apartmennya. Besok aku akan datang ke apartmen Virda.
Esok harinya, aku berencana untuk pergi ke apartmen Virda, mengembalikan dompetnya yang tertinggal, namun ada suatu kendala. Aku lupa dimana apartmen Virda ! Aku baru sekali kesana, dan itu pun diantar oleh mobil, jelas aku lupa. Apartmen Virda agak jauh dari rumah kardus. Aku memutuskan untuk membuka dompet Virda, dan mencari kartu identitasnya. Tak ada kartu pelajar di dompet Virda, tentunya karena ia mengikuti program home schooling, namun aku mencoba mencari kartu lain. Hingga aku menemukan sebuah kartu, sepertinya itu kartu tanda anggota sebuah perusahaan penerbitan buku. Virda anggota sebuah perusahaan penerbitan buku ? Hebat juga dia ! Setahuku, hanya orang-orang tertentu yang dapat menjadi anggota sebuah perusahaan penerbit. Aku membaca nama lengkapnya ‘Virda Anastasia Salma’. Sepertinya aku mengenal nama itu, dimana ya ? Sudahlah, yang terpenting adalah alamat apartmen Virda. Aku harus tahu alamatnya jika ingin mengembalikan dompetnya. Aku membaca, dan akhirnya aku tahu alamatnya. Aku memulai perjalananku menuju apartmen Virda. Sudah kuduga, sangat jauh. Hingga akhirnya, aku sampai di apartmen tempat tinggal Virda. Kali ini aku ingat, ruang apartmen Virda nomor 107. Aku segera naik lift menuju ruang apartmen itu. Aku sampai di pintu depan ruang 107. Aku menekan bel pintu 2 kali, hingga seseorang yang sangat kukenal keluar mengampiriku. Itu Mama-nya Virda. Namanya Tanta Tika. Ia kelihatan sangat muram dan matanya bengkak seperti habis menangis. Ada apa ?
“Rara…………….,” kata Tante Tika.
“Maaf Tante, Rara ganggu. Rara mau ketemu sama Virda. Virdanya ada Tante ?” tanyaku. Tante Tika menunduk, ia hanya diam.
“Tante ? Ada apa ?” tanyaku lagi.
“Ikut Tante ya Rara,” kata Tante Tika.
Aku naik ke mobil mewah milik keluarga Virda. Kali ini mobilnya bukan lagi berwarna merah metalik, melainkan hitam mengkilap. Mobil mewah ini melaju melintasi keramaian kota Jakarta. Aku bingung, mau dibawa kemana aku oleh Tante Tika ? Tidak mungkin Tante Tika hendak menculikku, karena aku tak akan membawa keuntungan untuk Tante Tika. Tante Tika tak akan bisa meminta tebusan uang jika ia menculikku, karena ia mau minta ke siapa ? Orang tua saja, aku tidak punya. Lagipula Tante Tika tahu persis aku adalah orang yang sangat miskin. Untuk apa menculik orang miskin? Untuk dijadikan budak ? Atau meminta-minta di jalan ? Seperti sinetron saja ! Pertanyaanku segera terjawab ketika mobil berhenti di lapangan parkir sebuah rumah sakit mewah. Tunggu dulu, rumah sakit ? Untuk apa ke rumah sakit ? Siapa yang sakit ? Ketika kutanyakan hal itu pada Tante Tika, beliau tidak menjawab. Beliau hanya berjalan terus menelusuri lorong-lorong rumah sakit super mewah itu. Hingga sampai di depan pintu sebuah bangsal. Terdapat sebuah angka di pintu itu. Angka tiga belas. Wah, bangsal 13. Seram juga. Jangan-jangan, Tante Tika……….Aduh, mikir apa aku ? Tante Tika membuka pintu kamar bangsal 13 itu, dan masuk ke dalamnya. Aku mengikutinya. Aku tersentak ketika kulihat seseorang yang terbaring di atas tempat tidur itu. Virda. Terbaring lemah, tampak sangat menderita. Sepertinya penyakitnya parah sekali, karena selain ada alat infus dan alat bantu pernapasan, ada juga alat yang dihubungkan ke tubuh Virda yang berfungsi untuk mengontrol detak jantung. Aku tidak tahu nama alat itu.
“Virda, Rara sudah datang,” kata Tante Tika. Aku memperhatikan Virda. Dia tidak bergerak. Percuma saja Tante Tika memberitahunya bahwa aku telah datang. Virda kenapa ya ?
“Virda sakit apa, Tante ?” tanyaku. Tante Tika tidak menjawab. Ia tambah kelihatan murung.
“Tante keluar sebentar ya Rara,” kata Tante Tika. Beliau keluar, membuat aku jadi tambah bingung. Aku duduk di kursi yang terletak di sebelah tempat tidur Virda. Virda terlihat sangat kesakitan, meskipun ia hanya diam. Sebenarnya apa yang terjadi padamu Virda ?
“Kenapa bisa begini, Bu ?” tanya seseorang. Sepertinya ada yang bercakap-cakap di depan pintu kamar ini.
“Saya tidak tahu, Dok. Apa kondisinya separah itu ?” itu suara Tante Tika.
“Begitulah, tak ada satupun kemajuan sejak dua hari yang lalu saat pertama kali Virda dibawa ke rumah sakit,” kata seseorang, sepertinya itu dokter yang merawat Virda.
“Saya sudah memperingatkan Virda untuk tidak terlalu lelah. Apa masih ada harapan, Dok ?,” kata Tante Tika, suaranya terdengar lemah sekali.
“Akan saya usahakan. Kondisinya memang sudah sangat parah, saya sudah memperingatkan Ibu sejak 13 setengah tahun yang lalu. Setengah tahun yang lalu, kondisinya sudah sangat parah, dan kini kembali harus di opname. Saya benar-benar putus asa sekarang ini. Ibu harus banyak-banyak berdoa,” kata dokter lagi.
“Baik, Dok. Terima kasih atas bantuannya selama ini,” kata Tante Tika. Terdengar pintu kamar dibuka. Tante Tika dan dokter masuk ke dalam. Aku mendengar semua pembicaraan dokter dan Tante Tika tadi. Apa maksudnya kata-kata ‘saya sudah memperingatkan Ibu sejak 13 setengah tahun yang lalu’ yang dikatakan oleh dokter tadi ? Ini benar-benar sudah membuatku bingung. Terlebih lagi dokter telah menyatakan dirinya putus asa. Apa-apaan ini semua ? Sepertinya banyak sekali hal yang tidak kuketahui. Dokter keluar dari ruangan setelah memeriksa Virda. Aku melihat Tante Tika yang seperti kehilangan semangat hidup itu. Ia sangat lesu dan muram. Seakan dunia akan berakhir 5 menit lagi.
“Sebenarnya ada apa, Tante ? Rara sama sekali tidak mengerti,” kataku pada Tante Tika. Tante Tika menunduk. Mengehela nafas sebentar, dan mulai berbicara.
“Sejak Virda berumur setengah tahun, Virda telah divonis memiliki penyakit gagal jantung oleh dokter. Dokter tadi sudah seperti keluarga sendiri, karena beliau yang menangani Virda dan penyakit keluarga Tante lainnya sejak bertahun-tahun lalu. Virda tidak pernah memiliki sahabat, karena sejak kecil ia sudah mengikuti program home schooling. Ia tidak sekolah di sekolah umum, sehingga ia kesulitan mendapatkan teman. Ia juga selalu mengikuti les privat, tidak pernah les di tempat biasa seperti anak-anak lain. Ketika kamu hadir, Tante merasa sangat senang, karena selama ini, Tante merasa sangat bersalah pada Virda. Tante merasa, Tante sudah sangat keterlaluan karena membuat anak sendiri tidak memiliki teman, namun kamu hadir, dan membuat rasa bersalah Tante sedikit berkurang. Sepertinya, akhir-akhir kondisi kesehatan Virda tidak stabil. Panyakit jantungnya kambuh lagi, namun kali ini sudah sangat membahayakan. Virda tidak memiliki harapan seperti anak-anak lain, karena ia tahu, waktunya tidak akan lama lagi. Satu-satunya yang dapat menjadi alasannya untuk terus bertahan hidup adalah buku-bukunya. Virda adalah seorang penulis muda. Ia telah berhasil menulis 5 novel, dan sekarang sedang membuat yang keenam, namun tertunda karena sekarang ini ia harus terbaring di tempat tidur itu. Tante benar-benar bingung sekarang,” kata Tante Tika dengan sendu.
Aku terdiam. Ya ampun ! Virda yang tiga bulan terakhir ini menjadi temanku, ternyata adalah seorang penulis muda berbakat yang menulis novel favoritku ! Pantas saja saat kulihat namanya di kartu tanda anggota sebuah perusahaan penerbitan, aku merasa pernah mengenal nama itu. Selain itu, ia bisa menjadi salah satu anggota perusahaan penerbitan, itu pasti karena ia seorang penulis. Kenapa Virda tidak pernah cerita padaku ya ? Padahal ia tahu persis bahwa aku sangat mengidolakannya, dan aku sangat suka pada semua novel-novelnya ?
Srak……srak…... terdengar suara, sepertinya berasal dari tempat tidur. Virda ! Ia mulai bergerak.
“Virda ! Virda !” kata Tante Tika sambil mendekati Virda. Aku juga ikut mendekati tempat tidur Virda.
“Mama….Rara….” kata Virda, suaranya tersendat.
“Vir, kamu gak apa-apa ? Sakit ?” tanyaku.
“Enggak. Sudahlah, gak perlu khawatir. Ma, Virda mau ngomong sama Rara sebentar,” kata Virda. Tante Tika mengangguk. Beliau berjalan keluar dari kamar.
“Vir, kamu kok gak pernah bilang kalau kamu………………” kalimatku terpotong.
“Kalau aku Virda Anastasia Salma yang menulis novel-novel favoritmu itu ? Maaf Ra. Aku takut kamu dan anak-anak di rumah kardus akan sungkan bermain denganku,” jawab Virda. Rupanya ia mengetahui apa yang ingin aku katakan.
“Omong kosong apa itu ?” tanyaku.
“Sudahlah, ada yang lebih penting yang ingin kuceritakan padamu. Kamu pasti sudah mengetahui semuanya. Mulai dari penyakitku sampai soal pekerjaan sampinganku sebagai penulis kan ?”
“Ya, begitulah. Gak ada masalah kan ?”
“Bagus kalau begitu, aku tidak perlu menjelaskan padamu lagi. Aku sedang menulis bukuku yang keenam. Kali ini bercerita tentang kehidupanmu dan teman-teman di rumah kardus. Aku berhasil menulisnya hingga tiga per empat cerita. Aku ingin minta tolong padamu, lanjutkan tulisanku itu. Kamu bisa ?”
“Aku ? Melanjutkan karyamu ? Apa kamu sudah gila ? Apa kata orang nanti ? Namamu bisa tercemar, karyamu yang sangat bagus, bisa hancur karena kulanjutkan,”
“Aku sudah tidak memiliki waktu lagi, Ra. Kamu tahu penyakitku, namun aku ingin di saat terakhirku, aku bisa menyerahkan sasuatu untuk Indonesia. Percayalah padaku, kehidupanmu dan teman-teman di rumah kardus akan berubah menjadi lebih baik. Kamu harus melanjutkannya, Ra. Percayalah padaku, ini akan berguna bagimu dan teman-teman di rumah kardus,” kata Virda. Suaranya begitu lemah. Aku sangat kasihan padanya, namun aku juga memiliki sebuah dilema, aku tidak bisa membuat nama baik Virda hancur karena karyaku yang jelek, namun aku juga tidak mau Virda kecewa karena aku menolak permintaannya.
“Baiklah, akan kuusahakan. Doakan aku ya, agar aku berhasil melanjutkan karyamu,” kataku akhirnya.
“Tentu saja. Satu lagi Ra, bagaimana pun caranya, aku ingin kau sekolah,” kata Virda, mukanya terlihat sangat serius sekarang.
“Ide apa lagi itu, Vir ? Kamu tahu kendalaku kan ?”
“Sudahlah, lupakan soal kendalamu itu. Bersekolahlah, ini permintaan terakhirku untukmu. Percayalah, kamu akan berhasil di kemudian hari jika kamu bersekolah,”
“Tapi………………….” Kalimatku terpotong.
“Kumohon, Ra. Bersekolahlah,” kata Virda. Kini ia terlihat sangat lemah. Aku menyerah.
“Baiklah,” kataku akhirnya. Aku menarik nafas dalam-dalam. Virda telah banyak membantuku dan keluarga angkatku. Aku tidak mungkin menolak permintaannya, apalagi permintaannya untuk kebaikanku juga. Aku keluar dari kamar nomor 13 itu. Merenung. Pikiranku bercampur aduk. Aku benar-benar takut kehilangan Virda. Tante Tika telah masuk ke kamar Virda. Sepertinya mereka sedang bercakap-cakap. Virda terlihat sangat lemah. Aku tidak menyangka, Virda memiliki penyakit yang begitu parah sejak ia lahir. Virda menyimpan semuanya sendiri. Ia takut, aku dan keluarga angkatku akan sungkan padanya ? Ia berpikir terlalu jauh. Ia benar-benar membuatku cemas sekarang ini.
“Kamu kembali saja ke rumahmu. Kamu pasti lelah kan ? Maaf telah membawamu kesini,” kata Tante Tika yang tiba-tiba telah berada di sebelahku.
“Tidak apa-apa, Tante. Rara masih ingin disini. Oh iya, ini dompet Virda. Dua hari yang lalu terjatuh di dekat rumah Rara,” kataku sambil menyerahkan dompet berwarna biru itu.
“Terima kasih ya. Jika kamu lelah, kamu bisa pulang, nanti Tante antar,”
“Iya, makasih Tante. Tidak usah repot-repot,”
“Justru Tante yang merepotkanmu,”
“Tidak kok, Tante,” kataku. Hari semakin lama semakin sore, aku harus pulang. Aku pamit pada Tante Tika dan menyatakan bahwa aku tidak perlu di antar pulang. Itu hanya akan merepotkan Tante Tika yang sudah repot. Kondisi Virda tak kunjung membaik meskipun ia telah sadar.
Keesokan harinya, aku kembali menjenguk Virda. Kali ini bersama Ka Dini dan Lisa. Virda tak sadarkan diri lagi. Aku jadi tambah khawatir. Begitu seterusnya hingga 2 hari selanjutnya, namun pada hari berikutnya, tepat satu minggu Virda dirawat di rumah sakit. Ada sesuatu yang berbeda. Aku menjenguknya seperti biasa, namun kali ini, keadaan di kamar nomor 13 itu yang tak biasa. Aku berjalan menghampiri kamar itu, sendirian. Jarak dari tempatku berdiri hingga kamar itu tinggal 7 meter lagi, namun terdengar suara tangisan. Aku berlari secepat kilat menuju kamar itu. Virda ! Seluruh peralatan rumah sakit yang menempel pada tubuhnya, di lepas. Mulai dari alat bantu pernapasan, alat infus, sampai alat untuk mengontrol detak jantung, yang kini kutahu namanya yaitu alat EKG, di lepas dan di rapikan. Apa maksudnya ini ?
“Tante, apa yang terjadi ?” tanyaku pada Tante Tika yang menangis histeris.
“Rara, Virda……..Virda…….” tampaknya Tante Tika kesulitan untuk bicara.
“Ada apa suster ?” tanyaku pada perawat.
“Maaf, Dek. Teman adek sudah tak dapat tertolong lagi,” jawab suster, mukanya sendu.
Aku terdiam. Lebih tepatnya, tidak dapat berkata-kata, bahkan untuk satu kata pun. Virda kini benar-benar pergi ? Jangan bercanda ! Mataku mulai memanas. Tak terasa, air mataku ikut mengalir menemani air mata Tante Tika dan Om Firman, Papa Virda. Berakhir sudah. Aku bingung sekarang.
“Rara, mulai sekarang, kamu akan sekolah. Kamu boleh pilih mau bersekolah di sekoloah biasa, atau home schooling seperti Virda,” kata Tante Tika. Matanya masih sembab, padahal sudah 2 jam berlalu sejak pemakaman Virda.
“Permintaan Virda ya, Tante ?” tanyaku.
“Iya,”
“Rara pilih bersekolah di tempat biasa saja, Tante,” kataku.
“Baiklah, urusan biaya, kamu tak usah khawatir. Satu lagi, ini buku catatan Virda. Virda meminta Tante untuk memberikan buku ini padamu. Katanya, kamu akan meneruskan cerita Virda, “ kata Tante Tika sambil memberikan sebuah buku catatan yang agak tebal.
“Tante minta tolong ya, Ra,” kata Tante Tika lagi.
Aku melanjutkan cerita Virda. Virda benar-benar mengerti kehidupan kami, padahal ia hanya bergabung dengan kami dalam 3 bulan terakhir, tetapi ia bisa mengetahui perasaan kami. Aku benar-benar salut akan karyanya yang belum selesai ini. Aku khawatir aku tidak dapat melanjutkannya dengan benar, namun aku tetap harus melanjutkannya. Ini adalah permintaan terakhir Virda. Aku harus memenuhinya. Masalah sekolah juga. Aku mulai bersekolah di sekolah umum tepat 2 minggu setelah kepergian Virda. Cukup sulit pada awalnya, karena aku tidak bisa apa pun, namun guruku begitu sabar. Aku jadi lebih bersemangat untuk belajar, aku juga mengajari keluarga angkatku di rumah kardus, karena banyak dari mereka yang belum bisa mambaca, menulis, dan berhitung. Aku juga tambah senang, karena aku berhasil melanjutkan karya Virda. Buku keenam Virda yang juga dihiasi namaku sebagai penulis kedua buku itu, laku keras di pasaran. Semua orang tahu akan keberadaan rumah kardus, dan pemerintah memberikan bantuan langsung pada kami. Virda berkata benar, karena kehidupan kami benar-benar berubah menjadi lebih baik. Kami tidak lagi tinggal di rumah kardus, dan kami semua bersekolah, bahkan Ka Dini dan Ka Shinta juga di biayai untuk bersekolah di tingkat SMA.
Sepuluh tahun kemudian…………………………………….
“Buku ke sembilan karya Anda telah dipasarkan. Apakah Anda berencana untuk membuat yang kesepuluh ?” tanya seorang wartawan padaku.
“Akan saya usahakan,” jawabku.
“Siapa yang menjadi inspirasi Anda dalam berkarya ?” tanya wartawan lagi
“Sahabat saya, namanya Virda,”
“Dimana Virda sekarang berada ?”
“Ia sudah tak ada,”
“Kami turut berduka mendengarnya, Mbak. Baiklah, Mbak Rara Anastasia Salma, apakah Mbak memiliki suatu pesan untuk sahabat Mbak yang kini telah tiada itu ?”
“Virda, meskipun kamu sudah tak ada, kamu tetap ada di hatiku. Tak pernah sekalipun pergi. Terima kasih atas dukunganmu, hingga aku bisa menjadi seorang penulis muda sepertimu. Terima kasih banyak. Kuharap Tuhan menerimamu di sisi-Nya,” kataku.
Namaku kini Rara Anastasia Salma. Jika ingin masuk sekolah, kita harus memiliki nama panjang. Aku minta izin untuk menggunakan nama belakang Virda sebagai nama panjangku, dan orang tua Virda setuju. Sesuai perkiraan Virda, kini kehidupanku benar-benar berubah menjadi lebih baik. Aku telah berhasil menulis 9 buah buku karyaku sendiri. Aku telah memiliki penghasilan sendiri dan dapat lebih sering menyumbang untuk anak-anak tidak mampu. Ka Dini dan Ka Shinta telah berhasil membuka suatu usaha bersama yang kini telah memiliki kantor cabang dimana-mana. Adik-adik angkatku juga sudah bekerja, meskipun ada juga diantara mereka yang masih kuliah. Sekolah benar-benar membuat kehidupanku dan keluarga angkatku menjadi lebih baik. Setelah wawancara pada acara peluncuran bukuku yang ke sembilan, aku menyetir mobilku menuju tempat pemakaman Virda. Kini aku duduk di sebelah makam Virda. Meletakan bunga mawar putih di atasnya.
“Virda, andai saja kamu masih hidup. Kita akan pergi bersama ke perusahaan penerbitan untuk menerbitkan buku kita,” kataku dalam hati. Tapi, bicara apa aku ini ? Ini sudah jalan yang ditentukan Tuhan. Ini pasti jalan yang terbaik. Aku membuka buku ke sembilan karyaku. Buku ini aku persembahkan untuk Virda. Di dalamnya ada sebuah puisi yang sengaja kutulis untuk mengenang Virda.
“Untaian Kata untuk Sahabat”
Hanya beberapa hari aku melihatmu
Namun aku tidak akan melupakanmu
Meski hanya untuk sedetik pun
Aku akan terus mengingatmu
Aku tidak dapat berbuat apapun untukmu
Apakah kau bisa memaafkan kelemahanku ?
Apakah kau bisa memaklumiku ?
Padahal aku sama sekali tidak berguna bagimu
Aku tidak berbuat sebaik yang kubisa untukmu
Mengapa kau pergi begitu cepat ?
Hingga aku tak sempat berterimakasih padamu
Hingga aku tak sempat memberikan sebuah puisi untukmu
Hingga aku tak sempat meminta maaf padamu
Kau sangat berarti bagiku
Bukan sebuah kebohongan
Bukan sebuah rayuan
Bahwa aku sangat menghormatimu
Mengapa kau pergi begitu cepat ?
Kau mengerti aku
Kau memahami kehidupanku
Tetapi mengapa aku tak dapat memahamimu ?
Mengapa aku tak dapat menjadi seorang sahabat yang baik untukmu ?
Maafkanlah aku…
Aku tahu, aku tak dapat membuat puisi dengan baik
Aku tahu kata-kataku ini tak sedalam kata-kata Chairil Anwar
Aku tahu kalimatku ini tak seindah kalimat Kahlil Gibran
Namun aku membuatnya sendiri
Dengan kemampuanku yang sedikit
Untaian kata untukmu, berhasil kutuliskan
Hanya untukmu, sahabat
Sederhana sekali puisi di bukuku itu. Aku memang tak pandai membuat puisi, namun itu semua isi hatiku. Meskipun Virda tak akan bisa membacanya, namun puisi itu membuat hatiku menjadi lebih baik. Suatu saat, aku akan menjadi seorang penulis yang berhasil. Bukan hanya berhasil dalam menulis buku, tetapi juga berhasil mengurangi angka kemiskinan di Indonesia. Aku akan berusaha, apalagi dengan membawa nama Virda sebagai namaku, aku tidak boleh membuat namanya menjadi hancur karena ulahku. Aku akan tetap berusaha.
TAMAT
Comments
Post a Comment