Anstecken



Sebuah cerita tentang kompetisi, sahabat dan impian.
cerita yang saya buat khusus untuk seorang sahabat saya yang sangat luar biasa



 Anstecken





“Jas, jas, dimana jasku ? Mengapa tidak ada ya ? Atau mungkin Bi Lastri meletakkannya di lemari belakang. Baiklah, akan kucoba mencarinya di belakang,” kataku dalam hati. Aku berjalan menuju pavilyun belakang rumahku, disana terdapat banyak lemari yang berisi pakaian-pakaianku. Seharusnya, jasku tidak ada di lemari itu, karena lemari yang berada di pavilyun itu telah aku khususkan untuk tempat pakaian-pakaianku yang sudah lama dan pakaian-pakaian formal yang jarang aku kenakan, namun apa salahnya mencoba ? Aku mulai membuka lemari itu satu per satu, dan kini aku membuka lemari kelima. Itu dia ! Itu jasku. Sepertinya baru selesai di setrika, aku pun mengambil jas itu, dan hendak menutup kembali lemarinya, sampai aku melihat sesuatu di bagian atas lemariku. Aku meraihnya. Selembar kemeja berwarna putih kusam dan rok kotak-kotak yang juga telah kusam. Seragam SD-ku. Aku menunduk, menggenggamnya dengan erat. Kututup lemari itu, dan berjalan kembali menuju kamarku. Pikiranku terpecah, tidak lagi fokus pada apa yang ingin aku lakukan. Mukaku memerah dan pikiranku kembali ke masa lalu, masa-masa SD-ku.
“Anstecken ! Berapa nilai matematikamu ?” tanya seseorang padaku, dan aku benci orang itu !
“Namaku Akira ! Akira Anastasia ! Bukan Anstecken ! Lagipula, darimana sih kamu dapat kata anstecken ?! Apa pula artinya ?!” tanyaku dengan nada tinggi.
Orang itu tersenyum. Senyum yang meremehkan.
“Kamu tidak perlu tahu apa artinya. Aku bertanya padamu, berapa nilai matematikamu ?”
“Sembilan puluh lima ! Kenapa ?! Ada masalah ?!” tanyaku masih dengan nada marah.
“Kalau begitu, kamu kalah !” jawab orang itu dengan sombongnya seraya pergi menjauh.
Aku melirik kertas ulangan matematikanya. Seratus. Apa ?! Dia dapat seratus ?!  Bagaimana bisa ?! Oh iya, dia pasti bisa, dia seorang anak yang pintar. Mikoto Saijo. Seorang anak laki-laki keturunan Jepang. Sejak kelas 1 SD dia satu sekolah dan satu kelas denganku. Dulu, dia sangat pendiam. Entah apa yang terjadi padanya di kelas 5 ini, karena dia berubah menjadi orang yang banyak bicara dan menjengkelkan. Aku akui, dia sangat pintar, dia anak laki-laki dengan nilai akademik tertinggi di kelasku, namun dia tidak boleh mengalahkanku ! Apalagi matematika ! Huh !
Hari Sabtu. Aku mengikuti ekstrakulikuler sempoa. Aku masuk ke dalam ruang ekskul, dan betapa terkejutnya aku. Itu Mikoto ! Sial sekali aku ! Mengapa aku harus 1 ruangan dengan orang itu ?!
“Hei, ada yang mau sereal ? Aku bawa banyak !” kata Erial.
“Aku !” jawabku dan Mikoto bersama-sama.
Mikoto merebut bungkus sereal milik Erial, dan memakannya sendiri.
“Hei ! Erial membawa sereal itu untuk dibagi-bagi, bukan untukmu sendiri ! Dasar rakus !” kataku dengan marah pada Mikoto.
“Kamu mau ? Kalau mau, rebut dariku !” jawab Mikoto dengan sombong.
“Huh ! Aku akan merebutnya darimu !” jawabku.
Aku mengejar Mikoto, dan mencoba merebut ungkus sereal itu. Ini masalah harga diri ! Dia menantangku untuk merebut bungkus sereal itu ! Dan aku harus merebutnya !
Aku berhasil memegang bungkus itu dan mencoba menariknya. Bungkus sereal itu sobek sepenuhnya, dan sereal yang masih memenuhi setengah bungkus itu tumpah ke lantai.
“Ayo loh ! Numpahin sereal ! Ngotorin lantai !” kata Mikoto dengan nada mengejek.
“Kamu kan juga ikut menarik bungkusnya ! Jangan salahkan aku sepenuhnya gitu dong !” jawabku marah.
“Memang kamu yang salah kan ? Cepat ambil sapu di gudang dan bersihkan ! Sebelum kakak pelatih datang ! Dasar anstecken !”
“Namaku Akira ! A-K-I-R-A ! Bukan anstecken ! Kamu juga harus ikut membersihkannya ! Kamu kan juga salah !”
“Males banget deh ! Kamu yang narik bungkusnya, jadi aku tidak salah ! Sudah, cepat bersihkan, kamu tidak mau kakak pelatih memarahimu kan ?”
“Aku juga tidak mau membersihkannya sendiri ! Kamu kan juga salah !”
Tiba-tiba pintu terbuka. Aduh ! Kakak pelatih sempoaku datang. Bagaimana ini ? Lantainya kan masih kotor.
“Apa-apaan ini ?! Kenapa banyak sereal berceceran di lantai ?!” tanya kakak pelatih dengan marah.
“Dia, Kak !” kataku dan Mikoto bersamaan. Aku menunjuk Mikoto dan Mikoto menunjukku.
“Bohong Ka ! Dia yang menarik bungkus serealnya hingga tumpah ! Saya tidak bersalah ! Tanya saja anak-anak lain !” jawab Mikoto.
Anak-anak di ruangan itu hanya diam.
“Akira, ambil sapu dari gudang ! Cepat bersihkan lantai ini !” perintah kakak pelatih.
“Tapi Ka……..,” kata-kataku terpotong.
“Tidak ada tapi-tapi ! Cepat bersihkan lantai ini ! Waktu kita untuk belajar sempoa jadi terbuang sia-sia !”
Sialnya aku ! Padahal Mikoto juga salah ! Tapi mengapa hanya aku yang harus membersihkan semuanya ?! Dasar curang !
“Rasain kamu, rasain, rasain, rasain……,” bisik Mikoto dengan nada mengejek padaku.
Aku naik darah. Aku sudah cukup bersabar atas kelakuannya selama ini, namun kali ini, aku benar-benar tidak dapat terima ! Braaakkkk!!! Aku memukul meja Mikoto keras-keras.
“Apa maksudmu, hah ?! Kamu mau cari masalah denganku ?! Jika kamu kira aku takut padamu, kamu salah besar !” teriakku pada Mikoto.
Zreekkk ! Mikoto mendorong kursinya keras-keras.
“Siapa yang cari masalah ?! Kamu aja yang suka marah-marah ! Dan aku juga tidak takut padamu ! Camkan itu !” jawab Mikoto dengan marah, namun aneh, dia memegangi dadanya.
“Akira ! Mikoto ! Kalian kira dimana kalian berada saat ini ?! Ini kelas ! Bukan tempat berkelahi ! Sekali lagi kalian bertengkar, kalian harus mengerjakan modul itu di depan kelas ! Mengerti ?!” kata kakak pelatih dengan marah.
“Tapi Kak, Mikoto yang memulai mengejek saya ! Saya tidak dapat terima !” jawabku.
“Bohong Ka ! Tidak ada bukti kalau saya mengejeknya ! Dia hanya mencari-cari alasan, Ka ! “ jawab Mikoto, mukanya memerah, dan ia terus memegangi dadanya.
“Siapa yang mencari-cari alasan ?! Kamu yang mencari masalah denganku !” kataku pada Mikoto.
“Aku tidak mencari masalah ! Kamu yang memukul meja dan berteriak duluan ! Bukan aku !”
“Tapi kamu kan……,” kata-kataku terpotong.
“Cukup ! Akira ! Mikoto ! Kerjakan di depan ! Di meja guru !” perintah kakak pelatih.
“Tapi Ka, saya tidak mau mengerjakan modul satu meja dengan Mikoto !” jawabku.
“Kalau begitu, kerjakan di ruang guru ! Berdua !” kata kakak pelatih tambah marah.
“Baiklah baiklah, kami kerjakan di depan, di meja guru saja, setidaknya lebih baik daripada di ruang guru, “ jawab Mikoto dengan nada rendah. Kini mukanya sangat merah, nafasnya tersengal-sengal, dan ia terus memeganginya dadanya. Ia berjalan menuju meja guru dengan membawa serta buku dan alat tulisnya. Aku terpaksa mengikutinya, duduk di tempat guru, dan mengerjakan modul sempoa itu satu meja dengannya.
“Sekali lagi kalian bertengkar, setuju atau tidak, kalian harus mengerjakannya di ruang guru !” kata kakak pelatih. Baiklah, kendalikan emosimu Akira. Jangan marah. Jangan marah. Aku bisa gagal mendapatkan piala siswa teladan jika aku terpancing pada pertengkaran bodoh ini ! Jika guru-guru sampai tahu aku terlibat dalam pertengkaran dengan Mikoto, bukan hanya piala siswa teladan yang tidak bisa kudapatkan, melainkan sertifikat-sertifikat penting, serta reputasiku selama ini, bisa hancur dalam sekejap ! Aku tidak boleh mencari masalah. Tenanglah Akira.
Aku benar-benar tidak beruntung karena karena harus 1 kelas dengan Mikoto. Aku selalu saja bertengkar dengannya. Sepertinya tidak ada harapan untuk dapat bermanis-manis ria dengannya, karena sikapnya selalu membuatku naik darah !
“Dasar kuntilanak ! Tukang marah-marah !” kata Mikoto. Dia ingin berperang denganku ya ?! Baiklah !
“Maksudmu apa ?! Siapa yang kamu sebut kuntilanak ?! Dasar panda !” jawabku dengan kesal. Mikoto yang berkulit putih, bermata sipit dan bertampang ‘lucu’ itu, memang sekilas terlihat seperti panda, atau mungkin beruang kutub.
“Aku keturunan Jepang ! Bukan China, tahu ! Panda itu dari China !” jawab Mikoto.
”Aku juga manusia ! Bukan hantu ! Jangan panggil aku kuntilanak ! Aku saja masih belum mengerti arti kata ‘anstecken’ yang sering kamu gunakan untuk memanggilku, sekarang kamu memanggilku kuntilanak ! Huh ! Apa maumu sih, panda ?!”
“Jangan panggil aku panda !”
“Panda ! Panda ! Panda ! Panda ! Panda !” kataku mengejeknya.
Wajah Mikoto seketika memerah. Sepertinya ia marah, seram sekali ! Dia mendekatiku, karena takut, aku melangkah mundur, menghindari Mikoto, namun Mikoto terus melangkah mendekatiku. Sepertinya aku harus lari ! Aku membuka pintu kelas dengan tergesa-gesa. Mikoto mengejarku ! Tolong ! Aku berlari secepat yang aku bisa. Beberapa hari yang lalu, tanganku dicubit oleh Mikoto, dan apa yang terjadi ? Tanganku memar ! Tapi aku sudah membalasnya ! Aku sudah mencubit Mikoto sekeras yang aku bisa ! Biar tahu rasa dia ! Mikoto juga sering memukulku. Sampai merah punggung dan tanganku karena dipukul olehnya. Benar-benar sadis dia ! Aku terus berlari. Mikoto sudah semakin dekat denganku ! Dia memang memiliki catatan waktu yang sangat baik untuk lari sprint. Catatan waktuku dengannya berbeda jauh ! Sebentar lagi aku pasti terkejar olehnya ! Bagaimana ini ?! Ditengah kepanikanku itu, aku melihat ruang guru. Oh iya ! Ruang UKS sekolahku dijadikan satu ruangan dengan ruang guru. Aku dapat ide ! Aku membuka pintu ruang guru, masuk ke dalamnya, dan sebelum menutup kembali pintu itu, aku sempat melirik Mikoto yang melotot karena marah, namun ia terlihat sangat lelah dan lagi-lagi ia memegangi dadanya, namun aku tidak peduli ! Aku menuju ruang UKS yang berada di dalam ruang guru tersebut. Aku pura-pura sakit dan hendak mengambil obat di ruang UKS, dengan begitu guru-guru pasti tidak akan marah karena aku masuk ruangan guru seenaknya. Mikoto tidak berani mengejarku sampai ke ruang guru, jadi aku selamat !
“Akira, kamu cari musuh yang ada disana, tangkap, dan masukkan ke penjara !” kata Gabby padaku. Hari itu, aku dan teman-temanku sedang bermain polisi-polisian. Anak perempuan menjadi polisi dan anak laki-laki menjadi penjahat. Polisi harus menangkap penjahat dan memasukkannya ke dalam penjara. Dalam permainan ini, kelasku digunakan sebagai penjara, jadi setiap anak perempuan harus menangkap anak laki-laki dan mengurungnya di kelas. Kebijakan dalam permainan ini, penjahat diizinkan untuk membantu penjahat lain yang tertangkap dan terkurung di penjara untuk meloloskan diri, dan sebagai polisi, harus gesit dan menjaga penjara, agar penjahat tidak dapat meloloskan diri.
“Akira ! Cepat kejar dan tangkap Mikoto ! Dia hendak meloloskan tahanan di penjara !” teriak Gabby padaku. Aku berlari mengejar Mikoto, namun Mikoto sudah berada dekat dengan penjara. Mikoto menerobos penjara yang dijaga ketat teman-temanku. Ia mendorong polisi-polisi, memukul mereka, dan mengancam akan menendang juga. Benar-benar anarki ! Penjahat-penjahat pun berhasil diloloskan oleh Mikoto. Aku mengejar Mikoto. Salah satu kunci memenangkan permainan ini adalah dengan menangkap dan memenjarakan Mikoto ! Aku harus menjebloskannya ke penjara !
“Kamu tidak akan bisa menangkapku, apalagi memasukkanku ke penjara ! Mimpi saja sana ! Dasar anstecken !” kata Mikoto meremehkanku.
“Lihat saja ! Kamu pasti aku tangkap dan kujebloskan ke penjara !” kataku sambil terus berlari mengejarnya.
“Anstecken, anstecken ! Sudah lewat 500 tahun pun, masih terlalu cepat untukmu untuk dapat menangkapku !”
“Aku bukan anstecken ! Aku Akira ! Apa sih arti anstecken itu ? Kenapa kamu senang sekali memanggilku dengan kata itu ?!” tanyaku dengan marah.
“Itu juga ! Masih terlalu cepat untukmu untuk mengetahui arti kata anstecken itu !”
“Huh ! Terserahlah !”
Aku tidak tahu, mengapa Mikoto suka sekali memanggilku anstecken, tetapi aku yakin, Mikoto memanggilku anstecken untuk mengejekku ! Huh ! Aku berlari sekuat tenaga mengejar Mikoto. Aku berhasil menangkapnya ! Aku berhasil menggenggam kemeja putihnya ! Mikoto terus berlari, meskipun kemejanya telah aku genggam dengan erat. Dia juga berusaha melepas tanganku, namun aku menggenggamnya terlalu kuat. Dia tidak dapat melepaskan tanganku dari kemejanya. Apa yang terjadi selanjutnya ? Satu per satu kancing kemeja Mikoto terlepas. Mikoto pun akhirnya melepas kancing kemejanya yang masih tersisa. Ia melepas kemejanya ! Aku yang hanya berhasil menggenggam kemejanya, kehilangan Mikoto ! Mikoto berhasil lolos !
“Apa kataku ! Kamu tidak akan bisa menangkapku ! Anstecken !” kata Mikoto dengan sombong. Aku berdiri terpaku. Mikoto gagal kutangkap. Ia berhasil lolos meskipun aku telah menggenggam erat kemejanya. Dia berlari menjauh, menuju pos satpam sekolah. Tiba-tiba, Mikoto memegang dadanya. Ia ambruk di lapangan sekolahku. Aku terkejut, dan berlari menghampiri Mikoto. Ia terlihat sangat kesakitan.
“Mikoto ! Kamu kenapa ?!” tanyaku khawatir.
“Jangan sok peduli kamu ! Aku tahu kamu senang melihatku ambruk seperti ini ! Ayo tangkap dan jebloskan aku ke penjara ! Ini kesempatan emas bagimu kan ?!” jawab Mikoto, perkataannya tidak enak didengar.
“Siapa yang peduli padamu ? Aku sama sekali tidak peduli ! Terserah kamu mau ambruk disini atau tidak, aku tidak mau tahu !” kataku dengan marah dan berjalan menjauhi Mikoto. Sebenarnya aku sangat mengkhawatirkan Mikoto, meskipun aku benci padanya, namun ambruk di depan mataku, telah cukup membuatku khawatir. Aku pun memutuskan untuk melihat Mikoto dari jauh. Mikoto mulai berdiri, masih memegangi dadanya, dan berjalan tertatih-tatih menuju kelas. Bel berbunyi, dan permainan berakhir.
“Mikoto !!!!” teriakku pada Mikoto sambil berlari mengejarnya.
“Mikoto ! Kembalikan catatanku !” kataku lagi.
“Coba saja kamu ambil kalau kamu bisa !” jawab Mikoto. Aku mengejar Mikoto di koridor sekolahku.
“Ehm, biodata, nama Akira Anastasia,……………….,” Mikoto berbicara keras-keras, namun kalimatnya terpotong olehku.
“Berhenti ! Jangan diucapkan keras-keras !” aku memotong kalimat Mikoto.
“Kamu sudah seenaknya mengambil cacatan orang, sekarang kamu membacanya keras-keras ! Dasar tidak sopan !” lanjutku dengan marah.
“Apa pentingnya catatan biodatamu ini ? Tidak berharga sama sekali !” kata Mikoto.
“Dasar tidak sopan ! Kembalikan !”
“Ambil kalau kamu bisa !” Aku mengejar Mikoto, suara sepatuku dan Mikoto menggema di koridor sekolah yang sepi. Braakk !!! Pintu ruang guru terbuka. Bu Ai. Wajahnya tampak sedang menahan amarah.
“Akira ! Mikoto ! Berhenti berteriak dan berkejar-kejaran di koridor ! Kalian selalu saja bertengkar ! Mengapa kalian tidak pernah akur ?!” tanya Bu Ai dengan marah.
“Mikoto mengambil catatan saya, Bu ! Ia tidak mau mengembalikannya !” kataku kemudian.
“Mikoto, apa benar yang dikatakan Akira tadi ?” tanya Bu Ai pada Mikoto.
“Ini hanya catatan tak penting, Bu. Akira terlalu membesar-besarkan masalah, “ jawab Mikoto.
“Mikoto, kembalikan catatan itu pada Akira ! Dan Akira, jangan memperbesar masalah ini lagi ! Berhenti berkelahi, dan kembali ke kelas ! Sekarang waktunya belajar, bukan istirahat ! Mengerti ?!”
“Iya, Bu,” jawabku dan Mikoto bersama. Mikoto mengembalikan catataku dengan kasar, dan kami hendak kembali ke kelas.
“Akira, kamu les dengan ibu hari ini ?” tanya Bu Ai, menahan langkahku dan Mikoto untuk kembali ke kelas.
“Iya, Bu,” jawabku.
“Kalau begitu, setelah bel pulang sekolah, sebelum les dimulai, temui ibu di ruang guru. Ada yang ingin ibu bicarakan,”
“Baik, Bu” Aku dan Mikoto kembali ke kelas.
Teet, teet, teet. Bel tanda sekolah usai berbunyi. Satu per satu temanku keluar dari kelas. Aku sendiri belum pulang, karena aku mengikuti les tambahan sepulang sekolah. Aku berjalan menuju ruang guru, mengetuk pintu, dan masuk ke dalamnya.
“Duduk,” kata Bu Ai padaku. Aku duduk di depan meja Bu Ai.
“Mungkin kamu bertanya, mengapa Mikoto bersikap lebih nakal akhir-akhir ini,” kata Bu Ai.
“Iya, Bu,”
“Kamu harus memaklumi kondisi Mikoto, ayahnya pengangguran dan ibunya sibuk bekerja, ia mengalami kondisi dalam keluarga yang tidak terlalu baik. Itu sebabnya akhir-akhir ini Mikoto menjadi lebih agresif, namun bukankah itu lebih baik ? Selam 4 tahun dari kelas 1 SD sampai kelas 4 SD, Mikoto sangat pendiam. Ia terlalu pasif. Sekarang ia lebih ceria, ya meskipun banyak kelakuannya yang menjengkelkan, tapi setidaknya itu lebih baik dari dulu. Kamu paham ?”
“Iya, Bu,”
“Oh iya, Akira, kamu sebagai salah satu kandidat peraih piala siswa teladan tahun ini bukan ? Tentu kamu mengetahui dengan jelas, bahwa setiap kesalahan sekecil apa pun yang kamu lakukan, akan tetap diperhitungkan dalam pemilihan siswa teladan. Jika guru-guru lain sampai tahu mengenai kamu yang suka bertengkar dengan Mikoto, tentu kamu tahu apa resikonya bukan ? Kamu pasti tidak akan pernah memiliki piala itu jika kamu membuat masalah, dan ingat, piala itu hanya dapat diperoleh oleh murid kelas lima, jika kamu gagal mendapatkannya tahun ini, maka tidak akan ada lagi kesempatanmu di tahun depan ! Mengerti ?”
“Mengerti, Bu”
“Baiklah, kamu boleh kembali ke kelas dan mempersiapkan buku untuk les, “ kata Bu Ai mengakhiri.
“Baik, Bu,” Aku berjalan menuju pintu ruang guru, membukanya, dan betapa terkejutnya aku. Mikoto berdiri disana. Nafasnya tersendat-sendat, dan ia memegangi dadanya.
“Guru itu salah. Aku berubah bukan karena kondisi keluargaku. Jangan pedulikan itu dan jangan merasa iba padaku,” kata Mikoto dengan dingin dan ia berjalan tertatih-tatih menjauhi ruang guru. Mikoto mendengar pembicaraanku dengan Bu Ai ! Tiba-tiba langkah Mikoto terhenti.
“Satu lagi, aku tidak akan menghalangi langkahmu untuk mendapatkan gelar sisawa teladan itu. Tenang saja,” kata Mikoto dan kembali berjalan dengan tertatih-tatih. Nada bicara Mikoto sangat tenang, namun itu justru yang membuatku takut. Ia jarang sekali berbicara sedingin dan setenang itu. Sepertinya ia sangat marah dan kecewa mendengar percakapanku dengan Bu Ai, tentu saja dia marah, siapa yang tidak marah jika masalah keluarganya dibicarakan orang lain ?
“Apakah aku dan Gabby boleh ikut bermain bola bersama kalian ?” tanyaku pada anak laki-laki yang sedang bermain bola.
“Boleh saja sih, tapi kalian kan perempuan. Apa sanggup ?” tanya Emir.
“Tentu saja ! Meskipun kami perempuan, kami juga bisa bermain bola !” kata Gabby. Aku dan Gabby pun ikut bermain bola bersama anak laki-laki. Aku bertugas menjaga bagian belakang pertahanan dalam bermain bola, disebut pemain back. Aku menjaga agar bola tidak mendekati gawang  tim-ku. Aku memang sedikit tomboy, aku lebih suka bermain permainan yang biasanya dimainkan oleh anak laki-laki, dibanding permainan yang biasa dimainkan oleh anak perempuan. Sebenarnya aku lebih suka menjadi kipper, namun sudahlah, menjadi pemain back juga tidak buruk. Hari-hari berlalu dan aku semakin suka bermain bola. Aku sering berlatih menjadi kiper bersama Gabby. Sesekali aku bermain sebagai kiper. Aku sering berlatih sendirian. Aku memang sangat menyukai permainan ini, karena itu aku tidak ragu-ragu untuk terus berlatih, meskipun hanya sendirian. Duuk ! Duuk ! Duuk ! Itu suara bola yang kutendang-tendangkan ke tembok sekolahku. Aku sedang berlatih menendang bola dengan keras. Tiba-tiba, seseorang menahan bolaku. Mikoto. Berdiri disana sambil menahan bola dengan kaki kanannya. Ia mengambil bola itu dan meletakkannya di posisi yang tepat di depan kakinya.
“Ayo latihan !” kata Mikoto dan menendang bola itu ke arahku. Aku dengan sigap menahan bola itu dengan kedua tanganku. Aneh. Mengapa tiba-tiba Mikoto mau berlatih bersamaku ? Tetapi sudahlah, saat ini aku membutuhkan seseorang untuk menendang bola ke arah gawang, sehingga aku dapat berlatih menjadi kiper dengan menahan bola itu.
“Bagaimana ini, Dio sakit, dan Tyas berada di posisi stricker. Siapa yang akan menjadi kiper ?” tanya Ario dengan panik.
“Lano saja !” jawab Emir.
“Aku tidak mau, aku mau jadi pemain gelandang saja,” jawab Lano.
“Akira saja !” jawab Mikoto. Mendengar jawaban Mikoto yang merekomendasikan aku sebagai kiper, seluruh anak laki-laki serentak menatap tajam Mikoto.
“Kamu bercanda ? Akira itu perempuan ! Kamu ingin tim kita kalah ya ?” kata Essel dengan emosi.
“Memangnya kenapa kalau dia perempuan ? Dia bisa menjadi kiper kok !” jawab Mikoto.
“Sebenarnya, apa yang terjadi padamu Mikoto ? Baru kali ini kamu membela Akira kan ?” tanya Lutfi.
“Iya ! Biasanya juga kamu bertengkar dengan Akira, mengapa mendadak kamu membelanya?” tanya Alif.
“Aku tidak membelanya, aku hanya tidak ingin tim kita kalah, jadi aku merekomendasikan Akira sebagai kiper, kupikir dia memang mampu menjaga gawang tim kita,” jawab Mikoto dengan tenang. Aneh sekali. Benar apa yang dikatakan Lutfi dan Alif, baru kali ini Mikoto baik padaku. Biasanya dia selalu mengejek dan merendahkanku. Mikoto tidak pernah mau mengakui kemampuanku, namun sekarang ia berkata bahwa aku mampu menjadi kiper untuk timnya ? Ini benar-benar aneh ! Atau ia mempunyai rencana di balik ini semua ? Ya ampun, aku selalu saja berprasangka buruk pada orang lain.
“Baiklah baiklah, Akira, jaga gawangnya ! Jadilah kiper yang dapat diandalkan !” kata Emir. Aku senang sekali ! Aku senang bermain di posisi yang aku sukai, sebagai kiper. Apa aku harus berterima kasih pada Mikoto ? Ah, lupakan ! Terlalu gengsi bagiku untuk berterima kasih padanya !
Bruuuk !!! Faiq menendang bola bliter dari jarak 1 meter ke arah mukaku. Apa yang terjadinya selanjutnya ? Mulutku berdarah !
“Akira ! Kamu tidak apa-apa ?” tanya Emir dengan khawatir.
“Iya, tidak apa-apa, ayo lanjutkan !” jawabku.
“Maafkan aku Akira ! Kamu tidak apa-apa ?! Aku benar-benar tidak sengaja ! Aku tidak bermaksud mengarahkan bola tadi ke mukamu,” kata Faiq dengan wajah penuh penyesalan.
“Iya, tidak apa-apa kok, “ jawabku.
“Akira, darah dari mulutmu semakin banyak ! sebaiknya kamu cuci dulu mulutmu itu, dan pergi ke ruang UKS !” kata Emir.
“Aku tidak apa-apa kok,”
“Sudahlah Akira, cepat bersihkan darah di mulutmu itu ! Aku tidak suka melihatnya !” kata Emir.
“Ya baiklah baiklah,”
Ya ampun ! Padahal itu kesempatan bagus untuk bermain sebagai kiper ! Mengapa mulutku harus berdarah saat itu sih ?! Sial sekali !
Hari demi hari berlalu. Aku berhasil mendapatkan piala siswa teladan ! Aku senang sekali, namun aku masih sering bertengkar dengan Mikoto. Sepertinya tiada hari tanpa suara ribut pertengkaranku dengannnya. Kini, aku sudah kelas 6 SD, bahkan satu setengah bulan lagi aku akan masuk SMP. Hari ini, pengumuman nilai GT-ku. Nilaiku cukup memuaskan, dan aku berhasil masuk ke SMP unggulan, namun yang terpenting adalah, aku tidak akan lagi satu sekolah dengan Mikoto ! Hahahaha, aku sangat senang ! Pendaftaran ulang calon murid baru di SMP tujuanku sudah dibuka. Aku dan orang tuaku pergi ke SMP itu dan mendaftarkan ulang namaku. Aku senang dapat bersekolah di SMP itu. Pemandangannya bagus dan udara disana sangat sejuk.
“Akira, pendaftarannya sudah selesai, kita pulang saja ya,” kata Ibu padaku.
“Iya, Bu,” jawabku. Aku dan orang tuaku pun berjalan di koridor sekolah itu dan betapa terkejutnya aku. Mikoto. Ia disana ! Berjalan bersama orang tuanya. Aku dan Mikoto berpapasan di koridor. Ia melirikku tajam, namun baik aku maupun dia, tidak ada yang berbicara sedikit pun. Seolah-olah aku dan dia tidak saling mengenal. Mengapa dia disini ? Seharusnya ia tidak besekolah disini ! Tunggu, dia pernah berkata, bahwa saudara sepupunya juga bersekolah di sekolah ini. Mungkin Mikoto memilih sekolah ini karena ingin satu sekolah dengan saudara sepupunya itu. Ah tidak ! Mimpi buruk ! Itu berarti, 3 tahun lagi aku harus satu sekolah dengan Mikoto ! Benar-benar sial !
Aku menjalani hari-hari SMP-ku yang jauh berbeda dengan hari-hari di SD-ku dulu. Beruntungnya, aku tidak satu kelas dengan Mikoto. Hampir setiap hari aku bertemu dengan Mikoto, baik di kantin, masjid, perjalanan menuju kelas, tempat parkir jemputan, dan lain-lain, namun tak sekali pun aku menyapanya atau dia menyapaku. Aku dan Mikoto seolah-olah tidak saling mengenal. Aku sering berpura-pura tidak melihatnya, dan ia pun melakukan hal yang sama terhadapku. Selama kurang lebih satu setengah tahun, aku tidak bertegur sapa dengannya.
Ini Akira ?

22 Des 2008 14:00

Dari: 085612345678



Triiit  triiit  triiit….. Itu bunyi ponselku, ternyata ada sms yang masuk. Aku membukanya.



Iya, kamu siapa ?

22 Des 2008 14:04

Untuk: 085612345678


Aku pun membalas sms itu.



  
Aku Mikoto Saijo, masih ingat aku ?

 22 Des 2008 14:08
Dari: 085612345678


                                                                               

Oh ya, tentu saja aku ingat, ada apa Mikoto ? 





 

 22 Des 2008 14:12
Untuk: 085612345678


Itu adalah 2 sms pertama dari Mikoto setelah kurang lebih satu setengah tahun aku kehilangan komunikasi dengannya. Sejak saat itu pula, aku sering berkomunikasi dengannya melalui sms
 

Sejak kpn kita jdi tmn ? Bukannya kita musuh bebuyutan ?


 1  Jan 2009  20:00

Untuk: Mikoto Saijo

 Iya Akira, aku minta maaf soal yg wkt dulu. Aku memang jahat. Maaf ya. Kita berteman saja skrng.

 1  Jan 2009  20:04
 Dari: Mikoto Saijo





Itu adalah sms yang membuatku dan Mikoto menjadi teman, bahkan sahabat. Ia minta maaf padaku dan sudah seharusnya aku memaafkannya. Aku dan Mikoto suka bertukar cerita melalui sms, termasuk soal impian-impian kami.
Aku yakin Mikoto, nanti jk kita sdh bsar & kita brtemu lg, aku akan mlihatmu memakai jas hitam & membwa brkas yg hrs kamu tnd tangani. Kamu rapat di ruangan besar, di kelilingi orang2 kaya pemegang saham di perusahaan milikmu sndiri & kamu makan di restoran mewah brsm klienmu. Hahahaha

11  Feb 2009 19:30

Untuk: Mikoto Saijo



Amin ! Hahaha bisa saja kamu anstecken ! Aku jg nanti akan melihatmu   di dalam mobil Alphard & membuka laptop dngn supir yg akan mngantarmu mnuju rumah sakit besar milikmu sndiri & akan ada rapat pnting yg dihadiri smua prwakilan dokter di dunia & kamu yg mnjdi pemimpin rapat itu. Hahaha

11  Feb 2009 19:34

Dari: Mikoto Saijo


Itu sms yang paling aku suka. Meskipun itu hanya khayalan, namun aku berharap khayalan itu dapat terjadi suatu saat nanti. Mikoto benar-banar telah menjadi sahabatku. Ia tidak pernah lagi mengejekku, namun ia tetap memanggilku anstecken. Sampai sekarang pun aku masih belum mengerti apa arti kata anstecken itu. Setiap aku bertanya apa arti kata itu, Mikoto selalu menjawab,
“Belum waktunya kamu mengetahui arti kata anstecken itu, Akira,” dan aku selalu bertanya dalam hati, kapan waktu yang tepat untuk aku mengetahui arti itu ?
Hari demi hari berlalu. Tujuh bulan lagi aku akan masuk SMA. Triiit  triiit  triiit….. ponselku berbunyi. Ada sebuah sms yang masuk.
Anstecken, aku perlu berbicara dngnmu. Ini sngt penting. Tolong temui aku besok, pukul 7 pagi di Taman Narahita. Tolong dtng tepat wkt ya.. Terima kasih.

19  Des 2009  19:00

Dari: Mikoto Saijo


Ada apa ya ? Mendadak sekali. Sepertinya ini sangat penting. Besok hari Minggu, jadi aku bisa menemui Mikoto di Taman Narahita pukul 7 pagi. Taman Narahita adalah nama taman di SD-ku. Aku dan Mikoto sangat menyukai taman itu karena selain indah, dari taman itu aku dan Mikoto juga dapat melihat jelas gedung SD-ku yang menjulang tinggi dan kokoh. Gedung sekolah yang penuh kenangan, namun sejak lulus SD, aku tidak pernah mengunjungi taman itu lagi.
Pukul tujuh pagi, 20 Desember 2009. Aku berjalan di rumput hijau Taman Narahita. Itu Mikoto. Duduk sendirian di bangku taman. Meskipun hari Minggu, SD-ku tetap menjalani kegiatan ekstrakulikuler, sehingga aku dapat masuk kesana dengan mudah. Seluruh siswa yang mengikuti kegiatan ekstrakulikuler berada di lapangan sekolah, sedangkan letak Taman Narahita cukup jauh dari lapangan, sehingga taman itu terasa hening karena hanya ada aku dan Mikoto disana. Aku menghampiri Mikoto, dan duduk di sebelahnya. Hening, hingga Mikoto mengawali pembicaraan.
“Sudah lama bukan ?” Tanya Mikoto.
“Ya, sudah dua setengah tahun yang lalu,” jawabku.
“Dulu, kita sering bertengkar disini, kamu masih ingat ?”
“Masih, sangat jelas,”
“Dua setengah tahun cukup mengubah total sekolah ini ya ? Sekolah ini jauh lebih baik daripada dua setengah tahun yang lalu,”
“Ya, namun taman ini tidak banyak berubah,” jawabku. Suasana hening kembali. Aku melirik Mikoto. Dia memejamkan matanya dan tersenyum. Entah mengapa, dia terlihat sangat sedih. Ada apa sebenarnya ? Mikoto membuka matanya, memandang langit dengan tatapan ingin menangis.
“Kamu lihat langit biru itu, Akira ?” tanyanya.
“Iya, jelas sekali,”
“Kamu tahu Akira, hemm……………....,” perkataan Mikoto terpotong karena ia melihat arlojinya terlebih dahulu.
“Lima jam lagi, ya lima jam lagi, aku akan berada di atas sana. Di langit biru itu,” kata Mikoto.
“Apa ?” tanyaku bingung.
Mikoto tersenyum. Senyum yang terlihat pahit. Jelas sekali ia sedang menahan kesedihan.
“Ini untukmu Akira. Jaga baik-baik ya, itu salah satu benda berharga milikku,” kata Mikoto sambil memberikan sebuah buku padaku.
“Aku harus pergi sekarang, sampai ketemu lagi ya, Anstecken,” kata Mikoto seraya berdiri dan berjalan menjauh. Mikoto menghentikkan langkahnya, menoleh padaku dan tersenyum, mukanya memerah, dan ia memegangi dadanya, lalu ia pun meneruskan langkahnya. Entah mengapa, aku merasa ada sesuatu yang akan terjadi. Aku hanya terdiam. Tak tahu harus berbuat apa.
Pukul satu siang di hari yang sama ketika aku bertemu Mikoto di Taman Narahita pagi tadi. Aku telah membaca buku pemberian Mikoto padaku. Itu buku puisi, dan semua puisi itu ditulis oleh Mikoto sendiri. Aku bermaksud menelpon Mikoto. Aku ingin mengomentarai puisi-puisinya.
“Selamat siang, dengan keluarga Saijo disini, ada yang bisa saya bantu ?” tanya seseorang yang menjawab teleponku.
“Saya Akira, Akira Anastasia, temannya Mikoto. Bisakah saya bicara dengan Mikoto ?” tanyaku.
“Maaf Nona Akira, pesawat Tuan Mikoto sudah lepas landas sejam yang lalu,” kata seseorang yang ternyata Bi Arum, orang yang kutahu telah bekerja pada keluarga Mikoto sejak Mikoto belum lahir.
“Apa ? Maksud Bibi apa sih ?”
“Loh ? Nona Akira tidak tahu ? Jam 12 siang ini, Tuan Mikoto pindah ke Jepang,”
“Untuk apa dia pindah ke Jepang, Bi ?”
“Kalau tidak salah, Tuan Mikoto pindah karena ingin mengobati penyakitnya, namun saya juga tidak tahu pasti, Nona Akira,”
“Penyakit ? Mikoto punya penyakit ? Penyakit apa, Bi ?”
“Saya kurang tahu, Nona Akira. Sepertinya Tuan Mikoto punya masalah dengan jantungnya, namun jika Nona Akira ingin tahu lebih jelas, mampir saja kesini, disini ada kakaknya Tuan Mikoto, Nona Miyaki, ia tidak ikut pindah ke Jepang. Jadi Nona Akira bisa bertanya langsung ke Nona Miyaki,”
“Oh, baiklah, Bi. Terima kasih,”
“Sama-sama, Nona Akira,”
Mikoto punya penyakit jantung ? Apa itu sebabnya ia sering sekali memegangi dadanya ? Jadi itu maksud Mikoto, ‘lima jam lagi aku akan berada di atas sana, di langit biru itu’ maksudnya dia pindah ke Jepang lima jam setelah pertemuanku dengannya pagi tadi ? Benar-benar jahat Mikoto itu ! Kenapa dia tidak pernah bilang padaku, bahwa dia punya penyakit, dan ia akan pergi  berobat ke Jepang ? Setidaknya kita bisa mengadakan pesta perpisahan terlebih dahulu ! Aku sangat penasaran ! Kebetulan sekali, Kak Miyaki kenal baik denganku. Sewaktu SD, aku sering berkunjung ke rumah Mikoto. Meskipun aku sangat membenci Mikoto saat itu, namun karena aku sering berada dalam 1 kelompok belajar dengannya, maka terpaksa aku harus mengunjungi rumah Mikoto. Kakak Mikoto, Kak Miyaki, sangat baik padaku. Berbeda sekali dengan Mikoto yang waktu itu sangat nakal dan jahat.
Seminggu kemudian. Aku berada di rumah Mikoto, namun kali ini, aku bukan ingin menemui Mikoto, melainkan kakaknya, Kak Miyaki. Aku sedang duduk di sofa ruang tamu rumah Mikoto, menunggu Kak Miyaki turun dari kamarnya. Tuk tuk tuk tuk tuk, terdengar suara langkah kaki di tangga. Itu Kak Miyaki. Miyaki Saijo. Seorang siswi kelas 12 di SMA-nya. Putih, tinggi, langsing, dan cantik. Itu yang terlihat darinya, namun di luar kecantikkannya itu, Kak Miyaki memiliki hati yang baik dan otak yang mengagumkan. Sama halnya dengan Mikoto, Kak Miyaki juga sangat pintar ! Kak Miyaki membawa amplop berwarna coklat dan berukuran besar di tangannya.
“Ini Akira. Itu foto kopian surat keterangan medis milik Mikoto. Kamu bisa membawanya pulang dan membaca-bacanya,” kata Kak Miyaki dengan lembut seraya menyerahkan amplop coklat besar itu padaku.
“Terima kasih, Ka,”
“Mikoto itu, sejak lahir telah di vonis memiliki kelainan jantung. Jantungnya itu semakin hari semakin parah. Sering sekali penyakit jantungnya itu kambuh. Aku sendiri tidak tahu pasti penyakit jantung seperti apa yang telah menggerogoti jantung adikku, namun aku benar-benar sangat kasihan melihat adikku tersiksa karena penyakitnya. Mikoto sudah berobat ke rumah sakit jantung terbaik di negara ini,  namun dokter spesialis jantung di rumah sakit itu menyarankan bahwa Mikoto lebih baik berobat di luar negeri, karena Mikoto harus menjalani operasi bedah jantung yang cukup rumit dan memiliki resiko sangat tinggi, sedangkan, sangat sulit mencari dokter bedah jantung yang dapat melakukan operasi bedah jantung sesulit itu, meskipun ada dokter bedah jantung Indonesia yang dapat melakukannya, biasanya dokter bedah jantung itu juga sedang bekerja di luar negeri. Orang tuaku pun bertanya pada dokter spesialis jantung itu, apakah Mikoto bisa diobati di Jepang ? Mengingat sebagian besar keluargaku berada di Jepang, dan dokter spesialis jantung itu berkata, Jepang pilihan yang tepat untuk mengobati penyakit Mikoto. Jadi Mikoto pun dipindahkan ke Jepang,”
“Kira-kira, kapan Mikoto akan kembali ke Indonesia, Ka ?”
“Aku juga tidak tahu, Mikoto harus menjalani perawatan untuk penyakit jantungnya, karena itu, sepertinya ia akan tinggal lama di Jepang. Rencananya, ia juga akan melanjutkan sekolah disana,”
“Kakak tidak ikut pindah ke Jepang ?”
“Kenapa aku harus pindah ? Aku tidak memiliki urusan di Jepang, lagipula setiap liburan aku pasti ke Jepang, menemui keluarga besarku. Aku terlalu cinta Indonesia, sehingga tidak ingin pindah ke negara lain. Aku memutuskan untuk meneruskan pendidikanku di Indonesia, lagipula orang tuaku akan tetap tinggal di Indonesia, karena kantor mereka ada di negara ini. Sedangkan Mikoto akan di rawat oleh saudara-saudaraku di Jepang, namun orang tuaku akan sering menjenguk Mikoto,”
“Oh begitu, baiklah Ka, aku harus pulang. Aku akan membaca surat keterangan medis milik Mikoto ini di rumah,”
“Baiklah, hati-hati di jalan, ya”

Hari-hari berlalu, dan aku sama sekali tidak berkomunikasi dengan Mikoto. Aku tidak tahu nomor telepon rumah Mikoto di Jepang. Mikoto pergi ke Jepang pada tanggal 20 Desember, padahal 3 hari setelah itu, tanggal 23 Desember adalah hari ulang tahunnya. Seharusnya ia jangan pergi dulu sebelum meniup lilin ulang tahun di depanku ! Seharusnya ia bicara lebih awal padaku bahwa ia akan pindah ke Jepang ! Setidaknya dia menyiapkan pesta perpisahan. Dia benar-benar aneh ! Pergi tanpa memberitahu teman-temannya yang lain. Dia juga tidak menceritakan masalah penyakitnya. Apakah dia malu ? Atau dia tidak percaya padaku ? Padahal jika dia menceritakan masalah penyakitnya padaku, aku akan berjanji untuk tidak memberitahu siapa pun. Aku jadi menyesal, sewaktu SD dulu, aku sering membuatnya sesak nafas, dan membuatnya terus memegangi dadanya. Aku benar-benar merasa bersalah.  
Aku pun memutuskan untuk menulis surat padanya. Aku akan menitipkan suratku pada Kak Miyaki, karena katanya, Kak Miyaki akan pergi berlibur ke Jepang pada liburan akhir semester 1 ini. Menurutku ini cara yang bagus. Semoga Mikoto senang membaca surat dariku dan mau membalas surat itu.

Untuk Sahabatku 

Mikoto Saijo

Di Tokyo – Jepang



Hai Mikoto,

Bagaimana kabarmu ? Baik-baik saja bukan ? Aku juga baik-baik disini. Mikoto, mengapa kamu pindah dengan tiba-tiba ? Mengapa kamu tidak memberitahuku dulu ? Setidaknya sebelum kamu pergi, kita bisa mengadakan pesta perpisahan untukmu terlebih dahulu ! Jangan pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan seperti itu lagi, ya ! Padahal 3 hari setelah kamu pindah, tanggal 23 Desember, kamu ulang tahun bukan ? Meskipun sangat terlambat, aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun padamu Mikoto. Semoga panjang umur, tambah pintar, tambah baik, dan semua yang kamu harapkan tercapai.

Mikoto, aku tahu, kamu pindah untuk mengobati penyakitmu.  Aku tahu kamu memiliki penyakit jantung yang parah. Kakakmu yang memberitahuku. Aku telah membaca surat keterangan medis milikmu. Kamu tidak keberatan aku melihat surat keterangan medismu itu kan ? Lagipula, percuma saja jika kamu keberatan, karena aku telah melihat seluruh isinya. Aku mengetahui semua jenis penyakit jantungmu itu. Aku mencari informasi penyakit-penyakit itu di internet. Aku juga tahu kalau kamu harus menjalani operasi jantung yang sangat sulit dan memiliki resiko yang sangat tinggi. Itu juga yang menyebabkan kamu pindah ke Jepang bukan ? Sulitnya mencari dokter bedah jantung yang cukup hebat untuk melakukan operasi itu, menyebabkan kamu harus berobat ke luar negeri. Aku hanya ingin menyampaikan padamu, seberbahaya apa pun operasi itu, kamu tidak boleh takut ya ! Jangan putus asa ! Aku akan selalu mendoakanmu ! 

Oh iya, jika kita sudah besar nanti, aku jamin, kamu tidak akan lagi kesulitan mencari dokter bedah jantung yang hebat ! Karena aku telah memutuskan untuk menjadi dokter bedah jantung terhebat di dunia, dan aku berjanji akan mengobati penyakitmu itu ! Tenang saja ! Karena itu, cepatlah kembali ke Indonesia ! Agar aku dapat mengobai penyakitmu. Aku juga berjanji akan menjadi dokter bedah jantung yang akan menolong banyak orang, sehingga orang lain tidak perlu meninggalkan negaranya hanya untuk mengobati penyakit jantungnya. Doakan supaya aku bisa menggapai cita-citaku ya, Mikoto !

Menulis surat itu sulit juga ya, karena itu, sampai disini dulu ya surat dariku, kalau ada waktu, balaslah suratku. Terima kasih. Ganbatte (semangat) Mikoto !



                                                                                               Sahabatmu yang baik,


                                                                                                                                Akira Anastasia.

Aku memberikan surat itu pada Kak Miyaki, dan sebulan kemudian, Kak Miyaki memberikan surat balasan dari Mikoto.
  
Untuk Sahabatku

 Akira Anastasia

Di Jakarta – Indonesia



Hai Anstecken,

Aku baik-baik saja disini. Aku senang mengetahui bahwa kamu juga baik-baik saja. Terima kasih kamu masih ingat hari ulang tahunku ya. Sayang sekali, aku tidak dapat mentraktirmu. Hahaha. Maaf karena aku pindah tanpa memberitahumu sebelumnya, aku hanya ingin membuat kejutan kok !

Wah, Kak Miyaki benar-benar membuatku malu ! Untuk apa dia menunjukkan surat medisku padamu ? Huh ! Aku kesal ! Tapi tidak apa-apa, sudah terlanjur. Kamu hebat sekali bisa mengetahui seluk-beluk penyakitku itu. Ya, aku tahu kamu memang anak yang pintar. Aku bangga memiliki sahabat sepertimu. Meskipun aku masih berusia 14 tahun, aku telah memiliki kolesterol yang cukup tinggi, itu karena keturunan. Padahal tubuhku tidak gendut, aku sendiri juga bingung mengapa bisa ada begitu banyak kolesterol di tubuhku, yang menyebabkan aku memiliki penyakit jantung yang parah dan harus di operasi. Mengenai operasi itu, aku tidak bisa berbohong, bahwa aku memang sangat takut ! Namun berkat suratmu, aku merasa lebih baik. Terima kasih ya. Aku akan berusaha untuk menghilangkan rasa takutku, dan tidak berputus asa !

Kamu ingin jadi dokter bedah jantung ? Baiklah ! Kamu harus menepati janjimu  itu ya! Ketika kita sudah besar, saat aku kembali ke Indonesia, kamu harus sudah menjadi dokter bedah jantung yang sukses dan menolong banyak orang ! Kamu juga berjanji akan mengobati penyakitku bukan ? Aku akan tagih janjimu itu ! Ingat itu ya ! Tenang saja, aku akan mendoakanmu agar dapat menggapai cita-citamu itu, Anstecken.

Benar apa yang kamu tuliskan di suratmu, bahwa menulis surat itu sulit juga, karena itu, sampai disini dulu suratku ya. Aku sudah memenuhi permintaanmu untuk membalas suratmu itu bukan ? Jadi aku tidak memiliki utang apa pun lagi padamu, ya ? Hahaha





    Sahabatmu yang tampan,



Mikoto Saijo

Aku hanya bisa tertawa membaca surat balasan dari Mikoto. Aku membalas surat dari Mikoto itu. Aku menulis, bahwa aku pasti akan menepati janjiku menjadi dokter bedah jantung terhebat di dunia dan menolong banyak orang ! Aku juga akan menepati janjiku untuk mengobati penyakit Mikoto. Lihat saja ! Tetapi setelah surat balasan Mikoto yang pertama itu, Mikoto tidak pernah lagi membalas suratku. Aku berkali-kali mengirim surat pada Mikoto melalui Kak Miyaki, namun Kak Miyaki selalu berkata,
“Mikoto tidak dapat membalas suratmu, Akira, maaf ya, mungkin lain kali,”
Aku sangat sedih. Aku benar-benar kehilangan komunikasi dengan Mikoto. Aku tidak pernah mendengar kabar tentang Mikoto lagi, karena Kak Miyaki pindah ke Yogyakarta untuk meneruskan kuliahnya di UGM. Padahal satu-satunya caraku untuk mengetahui keadaan Mikoto adalah dengan bertanya pada Kak Miyaki.
Empat belas tahun kemudian…………………………..
Aku masih memegang seragam SD-ku yang lusuh itu. Aku melangkah menuju lemari bukuku, dan mengeluarkan sebuah buku lusuh yang nilainya bahkan tidak dapat terpikirkan olehku. Itu buku yang sangat berharga, hingga berapa pun uang yang ditawarkan orang lain padaku untuk membeli buku itu, serasa tidak akan pernah cukup untuk membayarnya. Itu adalah buku puisi milik Mikoto. Aku membuka lembar demi lembar buku itu. Puisi-puisi Mikoto sangat bagus. Aku sangat menyukainya. Aku berhenti membalikkan halaman-halaman buku itu. Halaman 34. Pada halaman 34 ini, terdapat sebuah puisi. Puisi yang ditulis oleh Mikoto, dan berhasil membuatku bangkit jika aku sedang berputus asa.



Sahabat, apakah kamu tahu apa arti hidup ?

Seberapa pun usahamu untuk menjelaskan padaku

Kata-katamu itu tidak akan pernah cukup bagiku

Hidup adalah sesuatu

Sesuatu yang tidak akan bisa dijelaskan melalui kata-kata

Hidup adalah sesuatu

Yang tidak akan dapat dilukiskan oleh pelukis terkenal sekali pun

Hidup adalah sesuatu

Yang tidak akan pernah kembali jika kau telah melepaskannya

Apakah kau tahu , sahabat

Bahwa kehadiranmu sangat berarti bagiku

Bahwa keberadaanmu di sampingku

Telah membuatku dapat bertahan pada hidupku sendiri

Bahwa senyummu itu

Telah membuat hidupku yang sangat sederhana ini

Menjadi penuh cerita yang tak akan pernah bisa kutuliskan

Bahwa tatap sinar matamu itu

Telah membuat hidupku bercahaya di tengah kegelapan

Dan bahwa kata-kata yang terlontar dari mulutmu itu

Telah membuatku memutuskan, untuk terus berusha hidup

Meskipun aku tahu, aku hanya menunggu waktu untuk kembali pada-Nya


Aku benar-benar menyukai puisi tanpa judul itu. Aku telah membacanya beratus kali, namun aku tidak pernah bosan membacanya. Aku tersentak. Aku terlalu lama termenung pada masa laluku. Aku melihat jam di kamarku. Gawat ! Sudah pukul 10.40 ! Padahal aku harus tiba di audiotorium Hotel Bintang pada pukul 11.00 ! Aku harus menghadiri sebuah pertemuan ilmiah disana. Aku meraih jasku yang tadi telah kutemukan di lemari yang berada di pavilyun belakang rumahku. Jas putih yang membuatku bangga jika aku mengenakannya. Aku menyetir mobil sedan biruku melewati hiruk pikuk Kota Jakarta menuju Hotel Bintang.
Aku memarkir mobilku dan turun dengan sedikit terburu-buru. Aku berjalan dengan cepat menuju audiotorium Hotel Bintang. Arlojiku telah menunjukkan pukul 11.01. Aku terlambat ! Aku membuka pintu ruang audiotorium yang sangat besar itu. Banyak sekali orang yang memenuhi audiotorium itu. Aku berjalan menuju panggung yang telah disiapkan. Aku akan di wawancara untuk pertemuan ilmiah itu.
“Selamat datang dokter Akira,” kata seseorang yang menyapaku.
“Iya, terima kasih,” jawabku seraya tersenyum pada orang itu. Itu adalah dokter Khansa, seorang dokter bedah digestif atau dokter bedah rongga perut.
“Selamat pagi dokter Akira,” kata dokter Titah, yang merupakan dokter bedah dermatologi atau dokter bedah kulit.
“Selamat pagi dokter Akira,” kata dokter Nadia, seorang dokter bedah kranifosial atau dokter bedah tengkorak, wajah, dan rahang.
“Pagi,” jawabku dan tersenyum.
Aku naik ke atas panggung, dan MC memulai wawancara ilmiah itu.
“Dokter Akira Anastasia, seorang dokter bedah jantung yang sekarang tengah menjadi buah bibir masyarakat, khususnya kalangan dokter, karena keberhasilannya dalam mengoperasi berbagai jenis pasien gagal jantung, mulai dari yang teringan, hingga yang terparah. Puncaknya adalah ketika dokter Akira mempersentasikan tesisnya mengenai revolusi dalam mengoperasi pasien penyakit jantung dengan memperkecil angka kematian. Dapat disimpulkan, bahwa dokter yang masih terbilang muda ini, yang baru menginjak usia 29 tahun, telah membuat gebrakan baru di dunia medis, dan dokter ini juga telah membuat senior-seniornya mengakui keunggulannya, serta membuat Indonesia menjadi lebih baik dalam penanganan pasien penderita penyakit jantung. Dokter Akira merupakan salah satu dari dokter yang tercatat sebagai dokter bedah jantung termuda di dunia………………………………………………………………………………………………………………………....”
MC itu membacakan seluruh prestasiku, dan itu hanya membuatku merasa besar kepala ! Lalu MC itu mulai mewawancaraiku mengenai kondisi-kondisi pasien gagal jantung, dan lain-lain. Aku berusaha menjawabnya sebaik yang aku bisa. Tak terasa sudah 1 jam lebih 50 menit aku diwawancarai di audiotorium itu. Sepuluh menit lagi acara ini akan selesai. Tibalah untuk pertanyaan-pertanyaan terakhir. MC itu memang berbeda dengan MC biasanya, karena beberapa pertanyaan yang seharusnya ditanyakan di awal wawancara, ia tanyakan di akhir wawancara.
“Dokter Akira, sejak kapan Anda tertarik pada dunia medis, terutama jantung ?” Tanya MC padaku.
“Sejak saya TK, saya sudah tertarik dengan dunia medis, namun saya baru tertarik dengan jantung ketika usia saya menginjak 14 tahun, kelas 9 SMP tepatnya,” jawabku.
“Apa yang memotivasi dokter untuk menjadi seorang dokter bedah jantung yang berhasil ?”
“Sahabat saya,”
“Jika boleh tahu, siapa sahabat dokter Akira itu ?”
“Namanya Mikoto, Mikoto Saijo,”
“Apa yang telah dilakukan sahabat dokter Akira, sehingga dokter termotivasi untuk menjadi dokter bedah jantung yang sukses ?”
“Mikoto memiliki penyakit jantung yang sangat parah, ia pergi ke luar negeri untuk mengobatinya, karena saat itu, sangat sulit mencari dokter bedah jantung yang cukup handal untuk mengobati penyakitnya di Indonesia. Saya berjanji padanya, untuk menjadi dokter bedah jantung yang hebat, agar orang Indonesia, tidak perlu pindah ke luar negeri hanya karena untuk mengobati penyakit jantungnya. Itulah yang membuat saya termotivasi,”
“Lalu, dimana sahabat dokter Akira sekarang berada ?”
“Saya tidak tahu, sudah 14 tahun saya tidak berkomunikasi dengannya, namun terakhir kali yang saya tahu, ia berada di Jepang,”
“Adakah sesuatu yang ingin sekali dokter Akira katakan pada sahabat Anda itu ?”
“Iya, ada sesuatu yang ingin sekali saya katakana padanya,”
“Kalau begitu, bisakah Anda beritahu kami semua disini, apa yang ingin anda katakan itu ?”
“Baiklah. Mikoto, aku telah menepati janjiku untuk menjadi dokter bedah jantung yang hebat, aku juga telah banyak menolong orang, sesuai dengan janjiku padamu. Karena itu, pulanglah, agar aku dapat menepati janjiku yang terakhir, untuk mengobati penyakitmu,”
Plok plok plok plok plok, suara seseorang yang bertepuk tangan. Hanya orang itu yang bertepuk tangan. Aku melihat ke arah datangnya suara. Seorang laki-laki berdiri, sambil terus menepuk tangannya. Orang-orang di audiotorium itu pun mengikuti laki-laki itu untuk bertepuk tangan. Aku mencoba melihat orang itu dengan jelas. Putih, tinggi, dan bermuka oriental. Ia tersenyum padaku. Senyum yang sangat khas. Masih sama dengan senyum 14 tahun yang lalu. Itu Mikoto. Mikoto Saijo. Telah kembali ke Indonesia, dan aku tidak dapat berkata apa-apa ketika melihatnya.
“Jadi, kamu telah menepati janjimu ya, Anstecken ?” tanya Mikoto, mengawali pembicaraan. Sekarang aku dan Mikoto sedang duduk di restoran Hotel Bintang.
“Ya, namun aku bukan dokter bedah jantung terhebat di dunia,” jawabku.
“Tidak masalah, yang terpenting kamu telah menjadi seorang dokter bedah jantung yang sukses. Aku tidak menyangka, namaku kamu bawa-bawa di wawancara tadi, aku pikir kamu telah melupakanku,”
“Aku bukan orang jahat yang suka melupakan sahabat sendiri, tahu ! Ngomong-ngomong, mengapa kamu tidak pernah membalas surat-suratku lagi ?”
“Maaf anstecken, saat itu kondisiku sangat lemah. Aku menjalani perawatan pra operasi, dan aku dilarang melakukan banyak hal, termasuk membalas suratmu, namun surat-suratmu itu selalu aku baca, dan hingga kini pun, aku masih menyimpan surat-suratmu itu,”
“Oh begitu, tidak masalah kok, namun, kenapa kamu bisa ada disini ? Kapan kamu kembali ?”
“Aku kembali dua minggu yang lalu. Kamu tidak lihat aku memakai jas putih ini, tentu kamu tahu mengapa aku ada di audiotorium tadi, kan ?” kata Mikoto seraya menyentuh jas putih dokter yang ia pakai.
“Kamu seorang dokter ?”
“Tentu saja, jika bukan dokter, untuk apa aku menghadiri pertemuan ilmiah khusus dokter di audiotorium tadi ?”
“Bukanakah dulu kamu bilang, kamu ingin menjadi direktur ?”
“Aku berubah pikiran. Setelah kupikir-pikir, sepertinya menjadi dokter lebih asyik,”
“Kamu dokter bagian apa ?”
“Aku seorang dokter bedah vaskular. Rencananya, minggu depan aku akan bekerja di rumah sakit yang sama denganmu, Rumah Sakit Variant Internasional. Sepertinya kita akan bekerja bersama ketika operasi,” kata Mikoto seraya tersenyum. Dokter bedah vaskular adalah dokter bedah bagian arteri dan vena, yang merupakan pembuluh darah manusia, sangat erat hubungannya dengan bagian bedah dada dan jantung. Jika Mikoto benar-benar akan bekerja di rumah sakit yang sama denganku, maka kemungkinan besar aku dan Mikoto akan melakukan operasi terhadap pasien bersama-sama.
“Oh, bagus sekali, lalu bagaimana dengan penyakitmu ?” kataku.
“Operasi jantungku berjalan sempurna. Berkat doamu juga, terima kasih ya,”
“Iya, sama-sama, lalu bagaimana dengan janjiku ? Sepertinya kamu sudah sembuh, ya ? Berarti aku tidak perlu mengobatimu lagi bukan ?”
“Iya, tidak perlu, aku hanya memintamu untuk mengontrol kondisiku pasca operasi, kamu bersedia ?”
“Tentu saja, aku akan melakukan yang terbaik yang aku bisa lakukan,”
“Baiklah. Oh iya, Anstecken, sepertinya kamu banyak berubah, ya,”
“Oh ya ? Aku tidak merasa banyak berubah. Oh iya ! Kamu belum memberitahuku, apa arti anstecken itu ! Kapan kamu mau memberitahuku ?”
“Baiklah, baiklah. Aku akan memberitahumu, namun tidak sekarang”
“Kok begitu sih ? Kapan kamu mau memberitahuku dong ?”
“Nanti malam ? Bagaimana ?”
“Kenapa harus malam ? Kenapa tidak sekarang ?”
“Kamu mau tahu artinya tidak ?”
“Iya iya, baiklah. Dimana ?”
“Di Planetarium Bosscha,”
“Yang benar saja ?! Itu kan di Bandung !”
“Mau tahu artinya tidak ?”
“Iya iya baiklah, aduh….”
“Kenapa ? Kamu tidak berani mengemudikan mobil malam-malam ke Bandung ya ?”
“Iya, aku tidak berani. Aku juga tidak hapal jalan menuju Bosscha,”
“Baiklah, kamu pergi bersamaku saja, nanti aku akan menjemputmu pukul 5 sore, bagaimana ?”
“Baiklah, namun rumahku bukan yang dulu lagi, setelah aku memiliki penghasilan sendiri, aku membeli rumah, dan tinggal terpisah dengan orang tuaku,”
“Baiklah, tulis alamat rumahmu disini, aku akan menjemputmu nanti sore,” kata Mikoto seraya memberikan secarik kertas padaku. Aku pun menuliskan alamat rumahku.
“Jam 5 sore, ya ! Saat aku tiba di rumahmu, kamu sudah harus siap ! Aku tidak mau menunggu lama !” kata Mikoto.
“Iya, tenang saja,” jawabku.
Aku berada di dalam mobil mewah milik Mikoto. Mikoto mengemudikan mobilnya dengan lancar. Menembus hiruk pikuk kota Jakarta, memasuki jalan tol, dan tiba di kota Bandung. Mikoto benar-benar hapal jalan menuju Bosscha. Padahal ia baru tiba di Indonesia 2 minggu yang lalu, namun ia masih ingat. Gelap sekali malam itu. Aku sampai takut. Bosscha berada di pelosok Bandung, cukup jauh dari keramaian kota Bandung. Aku turun dari mobil Mikoto. Udaranya menusuk tulangku. Sangat dingin ! Aku berjalan mengikuti Mikoto dari belakang. Mikoto terus melangkah menuju taman yang berada di belakang gedung putih Bosscha. Mikoto menghentikkan langkahnya. Ia duduk di atas rumput hijau taman itu, dan memandang ke langit.
“Kamu lihat langit itu, Akira ?” tanya Mikoto padaku.
“Iya, kenapa ?”
“Gelap sekali ya,”
“Iya,”
“Namun tenang saja, sebentar lagi langit itu akan tampak berbeda,”
“Apa maksudmu, Mikoto ?”
“Bersabarlah, Anstecken. Tataplah langit itu, dan kamu akan tahu apa maksudku,”
Aku duduk di sebelah Mikoto. Menatap langit malam yang sangat gelap itu. Semenit, dua menit, 5 menit, tidak ada perubahan di langit itu. Aku melirik ke arah Mikoto. Mikoto memejamkan matanya. Aku tidak berani berkata apa pun padanya.
“Aku menyuruhmu menatap langit itu, bukan menatapku !” kata Mikoto. Loh ? Mikoto sedang memejamkan matanya, namun mengapa dia bisa tahu aku sedang menatapnya ? Aku pun kembali menatap langit malam itu. Setengah jam kemudian, sebuah benda bercahaya tampak di langit. Itu sebuah bintang.
“Indah, bukan ? Bintang itu ?” tanya Mikoto.
“Iya, sangat indah, langitnya tidak gelap lagi,”
“Itulah arti dari anstecken,”
“Apa maksudmu ?”
“Bintang itu mengeluarkan cahaya di malam yang sangat gelap, anstecken berarti cahaya,”
“Cahaya ? Berarti kamu tidak mengejekku ya ?”
“Siapa yang mengejekmu ? Justru aku memujimu,”
“Memuji ? Apa maksudmu ? Lalu, kenapa kamu memanggilku anstecken ?”
“Kamu ingat, 19 tahun yang lalu, ketika kita menghadiri acara pengambilan rapor kelas 4 ?”
Aku mulai mengingat-ingat masa itu.

Saat itu, di dalam kelasku, kelas 4, Mikoto duduk sendirian. Ia menundukkan kepalanya.
“Hei, kamu Mikoto Saijo, kan ? Kenapa menunduk seperti itu ? Kamu masuk lima besar kan ? Seharusnya kamu senang !” kataku padanya. Mikoto hanya diam. Aku duduk di depannya.
“Bersemangatlah Mikoto ! Cerialah ! Jangan hanya diam ! Kamu tahu, meskipun kamu dan aku satu kelas sejak kelas 1 SD hingga sekarang, aku hampir lupa kalau aku punya teman sekelas bernama Mikoto Saijo. Kamu terlalu pendiam, hingga anak-anak disini tidak menyadari kehadiranmu. Ayolah, bersamangatlah ! Tertawa seperti yang lain. Bermain seperti anak yang lain ! Percaya padaku, hidupmu akan jadi lebih baik !” kataku menyemangatainya. Ia hanya tersenyum kecil. Aku pun membalas senyumnya.
“Mikoto ! Mikoto ! Mikoto ! Mikoto ! Ayo Mikoto ! Berusahalah !” kataku kemudian.
“Akira, ayo pulang, sudah siang,” kata Ibuku di ambang pintu kelas.
“Iya, Bu,” jawabku. Aku menoleh pada Mikoto.
“Senyum dan kemudian tertawalah Mikoto ! Semangat ! Apa pun masalahmu, pasti kamu dapat menyelesaikannya ! Percayalah !” kataku dan pergi meninggalkan Mikoto.

Pikiranku kembali ke masa sekarang. Aku masih berada di bawah langit malam, tepatnya, di taman belakang gedung Planetarium Bosscha.
“Iya, aku ingat,” kataku pada Mikoto.
“Kamu menyemangatiku, aku senang sekali, padahal waktu itu, aku sedang kesakitan. Entah apa yang terjadi padaku, namun saat itu jantungku berdebar cepat sekali. Aku tahu ada masalah. Kemudian kamu datang dan membuatku tersenyum di tengah sakitku itu. Sejak saat itu, aku memutuskan untuk berubah menjadi Mikoto yang baru, Mikoto yang mudah tersenyum, ceria, dan bersemangat.,”
“Oh pantas saja, ketika kelas 5 kamu berubah drastis. Kamu memang lebih ceria, namun kamu menyebalkan, tahu ! Namun, apa hubungannya kejadian waktu kelas 4 itu dengan arti dari anstecken ?”
“Iya, aku tahu aku menyebalkan, maafkan aku ya. Menurutku, saat itu kamu seperti cahaya di kehidupanku yang gelap. Kamu membuatku bersemangat dan ceria, kamu juga membuat hidupku jadi lebih indah, seperti langit itu, hahahaha”
“Ah ! Kamu terlalu memuji !”
“Kalau begitu, jangan dengarkan perkataanku ! Aku sudah tahu sejak dulu, kalau aku menceritakan arti anstecken padamu, kamu pasti akan besar kepala ! Karena itu, aku sedikit segan untuk memberitahu arti kata anstecken itu padamu !”
“Siapa yang besar kepala ? Aku hanya tidak menyangka, anstecken itu berarti cahaya, aku kira itu sebuah kata yang berarti buruk. Ngomong-ngomong, anstecken itu bahasa apa ya ?”
“Bahasa Jerman, keren kan ?”
“Hahaha iya, keren sekali !”
Sejak saat itu, aku dan Mikoto kembali bersahabat. Kami bekerja di rumah sakit yang sama, dan berusaha menyembuhkan pasien bersama-sama. Benar-benar sangat menyenangkan jika kita memikili sahabat di sisi kita. Kita dapat berbagi di kala suka maupun duka. Sahabat adalah sesuatu yang tidak akan ternilai harganya. Berapa pun uang yang disiapkan, tidak akan cukup untuk membeli sahabatku. Setinggi apa pun jabatan, tidak akan sanggup membuatku mengkhianati sahabatku. Terima kasih untuk sahabatku, percaya atau tidak, aku tidak akan pernah melupakanmu.

Comments

Popular Posts