“Nyanyian Anak-Anak Rumah Kardus”

Sebuah cerita yang khusus saya dedikasikan untuk Lomba Menulis Cerita dalam "Tupperware Children Helping Children"


 “Nyanyian Anak-Anak Rumah Kardus”

“Mungkinkah, kau percaya kasih, bahwa diri ini ingin memiliki lagi………” aku menyanyikan lagu ‘Lirih’ ciptaan almarhum Chrisye. Dengan membawa botol berisi beras, aku mengahampiri mobil satu ke mobil lainnya ketika lampu merah menyala. Ya, aku mengamen. Aku seorang siswi SMP biasa yang bersekolah di sekolah unggulan. Orang tuaku bekerja sebagai dokter umum di rumah sakit swasta, puskesmas, klinik swasta, dan klinik milik keluargaku sendiri. Mungkin anda yang membaca ini akan bingung, mengapa sekarang aku mengamen, padahal orang tuaku dokter. Jawabannya karena pentas seni. Kebetulan, aku menjabat sebagai ketua OSIS di sekolahku. Ketika masih duduk di kelas 8, aku mencoba mengajukan rencana pensi ke pembina OSIS sekolahku, dan Beliau berkata, pensi tidak dapat diadakan, karena sekolah menolak adanya sponsor. Aku tidak dapat berbuat banyak, sehingga kupikir pensi tidak akan pernah ada di sekolahku ini.


Setengah tahun yang lalu……………………….
 “Semua anak ingin diadakan pensi, kita butuh penyalur aspirasi, pertanyaannya adalah, dimana OSIS sekolah ini ?” kata Andhika dengan mudahnya. Padahal ia tidak tahu bahwa aku dan pengurus OSIS lainnya telah berusaha keras mengajukan rencana pensi ke sekolah, namun ditolak. Pengurus OSIS yang lain memberikan keluhan padaku atas pendapat Andhika yang terasa menyinggung OSIS. Aku pun mendatangi Andhika, dan berkata, bahwa pensi tidak dapat diadakan karena sekolah melarang adanya sponsor, dan jika tanpa sponsor, kami akan sangat kesulitan mengadakan acara besar seperti pensi.
“Bagaimana kalau kita bekerja sama ? Kita coba lagi ajukan permohonan pensi ke kepala sekolah?” kata Andhika lagi, dan aku pun setuju.
Kami mencoba mengajukan permohonan pensi ke kepala sekolah kami, dan Beliau menyetujuinya. Setelah itu, kami mengalami banyak sekali kesulitan dalam setiap usaha kami. Aku dilarang keras oleh orang tuaku untuk ikut berpartisipasi dalam acara pensi ini, namun karena aku ketua OSIS, aku tidak bisa melepas tanggung jawabku begitu saja. Aku berusaha keras untuk meyakinkan orang tuaku agar mau memberikanku restu untuk berpartisipasi dalam acara pensi ini. Selain aku, teman-temanku yang lain juga banyak mengalami kesulitan. Kami juga banyak mendapatkan hambatan dari pihak sekolah. Proposal pensi kami berkali-kali ditolak, hingga kami harus mengganti proposalnya lebih dari 13 kali. Estimasi biaya pensi sekolah kami juga sangat besar, karena itu guru-guru tidak yakin kami dapat memperoleh biaya sebesar itu atau tidak. Mereka takut kami akan terjerat masalah hukum jika kami tidak sanggup menanggung biaya pensi tersebut. Namun semangat kami tidak pernah surut. Kami terus mencoba berbagai cara yang halal untuk menggalang dana.
Kami meminta sumbangan dengan menggunakan kotak sumbangan. Kami datangi kelas-kelas yang ada di sekolah kami, dan meminta sumbangan. Selain itu, kami juga berusaha meyakinkan teman-teman kami yang berkondisi ekonomi bagus untuk menjadi donatur. Kami juga membagi-bagi tim untuk pencarian dana masal (PDM) . Sistem pencarian dana masal ini adalah dengan mencari dana sebanyak-banyaknya dan dengan cara apapun, dengan syarat, cara mendapat uang yang digunakan halal, tidak memberatkan orang tua, tidak memberatkan sekolah, dan tidak memberatkan si  pencari dana. Pencari dana masal ini adalah murid kelas 8 dan kelas 9 di sekolahku. Sistem PDM ini juga mengundang banyak masalah. Banyak anggota PDM yang tidak berkomitmen untuk bekerja mencari dana. Mereka merasa dirugikan karena harus bekerja mencari dana. Mereka menuntut imbalan. Selain itu, banyak juga murid-murid yang tidak percaya bahwa dana sumbangannya akan digunakan untuk pensi. Kami berusaha meyakinkan murid-murid akan pensi ini. Meskipun akhirnya mereka percaya, namun usaha mereka untuk mencari dana semakin lama, semakin berkurang. Dana yang dibutuhkan sangat banyak, sekitar Rp 84.000.000 , sedangkan biaya yang terkumpul hanya sekitar Rp 19.000.000. Aku mulai khawatir, namun EO yang kami sewa selalu mendukung kami. Ya, kami menyewa event organizer (EO) untuk membantu kami mengadakan acara pensi ini. Awalnya kepala sekolah kami pun tidak menyetujui menggunakan jasa EO ini, namun setelah melewati perundingan yang panjang, akhirnya kepala sekolah pun mengijinkannya. EO membantu kami mendapatkan sponsor, mereka juga membantu dalam hal mendesign proposal,  keberadaan mereka sangat membantu kami. Kami merasa tertolong.

Kepala sekolah kami memberikan banyak sekali persyaratan untuk pensi kami ini. Ya aku tahu kepala sekolah menginkan yang terbaik untuk kami. Pensi kami ini tergolong memiliki waktu yang sempit untuk persiapan, karena itu, kepala sekolah kami memberikan persyaratan untuk mendapatkan minimal 1 sponsor dalam waktu 2 minggu, jika kami tidak mendapatkan sponsor, maka pensi kami akan dibatalkan. Kami berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan sponsor itu. Kami mendapatkan 5 sponsor, namun tidak satu pun perusahaan sponsor yang memberikan kami fresh money, semua sponsor itu memberikan kami barang untuk dijual atau sharing profit. Mengetahui hal itu, pembina OSIS kami merasa keberatan. Beliau merasa, kami tidak akan berhasil dengan sponsor yang hanya memberikan bantuan berupa barang atau sharing profit. Pembina OSIS kami pun rapat dengan kepala sekolah, dan Beliau memutuskan untuk membatalkan pensi kami. Aku sangat sedih. Kami telah berjuang selama 3 bulan. Kami berkali-kali pulang malam untuk rapat. Aku terus dimarahi dan dibentak oleh orang tuaku karena aku ikut berpartisipasi dalam pensi ini. Satu per satu teman-temanku juga dimarahi oleh orang tua mereka. Satu per satu dari mereka, menangis di depanku. Banyak dari mereka yang putus asa, namun aku dan temanku, Diva, terus meyakinkan pada mereka bahwa pensi kami akan berhasil. Aku sangat kecewa dengan keputusan kepala sekolah dan pembina OSIS sekolahku yang membatalkan pensi kami, padahal kami telah berusaha keras. Kami pergi mengelilingi Jakarta hingga malam untuk mencari sponsor. Kami datangi kelas-kelas untuk meminta sumbangan. Kami terima amukan orang tua kami yang tidak setuju pada pensi kami. Menurutku, keterlaluan sekali jika akhirnya pensi kami dibatalkan. Ini adalah pensi pertama sekolah kami. Sangat ditunggu oleh banyak orang. Aku tidak dapat membayangkan jika harus melihat wajah sedih dan kecewa orang-orang itu. Selain itu, bagaimana cara kami mengembalikan dana donatur, sumbangan sukarela, dan sponsor itu ? Kami akan sangat kerugian. Tapi aku juga mengerti, kepala sekolahku dan pembina OSIS sekolahku ingin yang terbaik bagi kami. Mereka tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada kami. Mereka memiliki pikiran yang dewasa dan lebih matang soal acara besar seperti ini, namun sulit bagi kami untuk menyerah dan membatalkan pensi ini begitu saja. Aku benar-benar bingung. EO pun tidak dapat berbuat banyak karena masalah ini berasal dari dalam sekolah kami. Kami harus menyelesaikannya tanpa bantuan EO. Hingga suat saat, dua orang alumni sekolahku datang untuk memberikan demo cd band mereka. Rencananya mereka ingin tampil di acara pensi kami. Kami pun menceritakan semua masalah kami. Mereka ingin membantu ! Wah kami sangat tertolong. Alumni itu sangat bersemangat untuk membantu kami. Mereka mencarikan kami link sponsor, dan mereka menyemangati kami terus menerus. Akhirnya, kami memutuskan, untuk terus mencari dana dan nanti kami akan mengajukan permohonan untuk melanjutkan pensi kami ini.

Kami benar-benar harus memutar otak untuk mendapatkan dana. Segala cara kami lakukan, mulai dari berjualan, membersihkan halaman, sampai akhirnya aku dan teman-temanku mengamen seperti ini. Jika orang tuaku tahu, aku pasti akan dimarahi habis-habisan. Aku mengamen bersama teman-teman panitia pensi sekolahku, Diva, Linda, Andhika, Dimas, Shalu, Maudy, Miranda, Anggit, dan Harry. Kami berkelana mengelilingi Jakarta. Panas sekali cuaca hari itu. Aku dan teman-temanku terus berpindah dari satu mobil ke mobil lain ketika lampu merah menyala. Kami menyanyikan lagu yang sama berkali-kali. Ketika adzan dzuhur terdengar, kami mencari masjid dan sholat disana. Aku mencari tempat berwudhu, ketika kutemukan tempat wudhu itu, aku melihat ke sekitar. Padang rumput liar yang cukup sempit berada di bagian belakang masjid. Bagian depan masjid ini berhadapan langsung dengan jalanan besar Jakarta, namun bagian belakang masjid menghadap ke tanah luas di perkampungan warga, jadi wajar saja jika banyak padang rumput liar di sekitarnya. Di tengah-tengah rumput liar yang tumbuh sangat panjang itu, aku melihat kardus yang besar-besar. Tepatnya, kardus kecil yang disusun-susun hingga menjadi sangat besar.
“Mira, Diva, coba kalian lihat kesana deh, itu kardus kan ?” kataku  pada Miranda dan Diva sambil menunjuk ke arah kardus-kardus itu.
“Iya, itu kardus, tapi kok besar sekali ya ?” jawab Miranda.
“Sepertinya itu kardus yang disambung-sambung, nanti setelah solat, kita mampir ke kardus-kardus itu, bagaimana ?” jawab Diva.
“Baiklah aku setuju, ayo cepat kita solat,” kataku kemudian.
Setelah selesai solat, aku dan semua teman-temanku yang ikut mengamen, mendatangi kardus-kardus itu.
“Ini rumah kardus !” kata Harry.
Kardus-kardus itu disusun sedemikian rupa, disambung-sambung, dan cukup kuat. Kami mencoba masuk ke dalam rumah kardus itu. Terdapat beberapa tempat tidur yang sudah tidak layak pakai. Selimut-selimut yang sangat kumal, dan di pojok ruangan, terdapat beberapa kardus lain. Aku melihat ke dalam kardus itu, isinya beberapa potong pakaian yang sudah tak layak pakai. Ini menunjukkan memang ada orang yang tinggal di rumah kardus ini.
“Sudah jam segini, ayo kita kembali mengamen, kita harus berusaha agar bisa mendapatkan uang yang banyak,” kata Dimas.
Kami pun keluar dari rumah kardus tersebut, dan berjalan menjauh. Setelah cukup jauh berjalan, tiba-tiba aku merasa ada yang mengganjal. Tasku terasa lebih ringan. Aku pun memeriksa isi tasku. Betapa kagetnya aku, ketika kulihat tasku yang kosong.
“Ah tidak ! Seluruh isi tasku menghilang !” kataku setengah berteriak.
“Jangan bercanda kamu ! Periksa lagi !” kata Andhika.
“Serius ! Lihat !” kataku sambil menunjukkan tasku yang kosong.
“Jangan-jangan terjatuh, di rumah kardus itu,” kata Linda.
“Apa saja isi tasmu yang terjatuh itu ?” tanya Harry.
“Ehm, dompet yang berisi kartu pelajar, namun uangnya tidak terlalu banyak, karena aku menyimpan uangku di saku celana jeansku. Selain itu, ada tempat makan Tupperwareku, beserta tempat minum Tupperwarenya juga. Ada buku catatanku, dan payung. Hanya itu saja,”
“Ya sudah, ayo cepat kita cari, kartu pelajar itu penting,” lanjut Harry.
Akhirnya aku dan teman-temanku pun kembali menyusuri jalan yang tadi kami lalui dari rumah kardus. Kami tidak menemukan apa pun di jalanan. Aku hanya berpikir, semoga isi tasku itu tertinggal di dalam rumah kardus, supaya aku tidak terlalu sulit untuk mengumpulkan kembali barang-barang yang terjatuh itu.
Akhirnya aku dan teman-temanku sampai di rumah kardus itu, namun ada yang berbeda, terdengar beberapa suara dari dalam rumah kardus, sepertinya pemilik rumah kardus itu telah kembali. Aku dan teman-temanku mengintip ke dalamnya. Benar ternyata, pemilik rumah kardus itu telah kembali, aku dan teman-temanku melihat 6 orang anak, yang terdiri dari 3 orang anak laki-laki dan 3 orang anak perempuan, mereka semua masih kecil, mungkin masih SD, kecuali satu anak laki-laki yang duduk di ujung rumah kardus sambil mengenggam dompetku. Anak laki-laki itu mungkin seumuran denganku. Ia melihat-lihat isi dompetku dan memerhatikan kartu pelajarku.
“Wah, ada minuman dan makanan ! Lihat ! Ini tempat minum, sangat bagus ! Aku juga ingin punya tempat minum sebagus ini ! Dan lihat juga ! Ini tempat makan yang bagus ya, warna tempat makan ini sangat cerah. Aku suka ! Oh ya, coba kita lihat makanan di dalamnya !” kata seorang anak perempuan yang kini asyik memegang tempat minum Tupperware warna biru milikku dan tempat makan Tupperwareku yang juga berwarna biru. Ia membukanya, dan aku melihat dengan jelas, matanya berbinar-binar, seakan-akan melihat emas sebesar karung beras 50 kg. Ia terlihat sangat kelaparan.
“Ini dendeng daging ! Wah ! Ini pasti sangat enak !” kata anak perempuan itu.
“Yang benar ?! Coba kulihat !” kata seorang anak laki-laki “Benar ! Ini dendeng daging !” lanjut anak laki-laki itu.
“Ka Izal, bolehkah kita memakan makanan ini ? Kita sudah tidak makan dari kemarin,” kata anak perempuan yang lain.
Anak laki-laki yang duduk sambil memegangi kartu pelajarku itu melirik ke arah anak perempuan tadi. Ternyata namanya Izal.
“Tidak boleh, itu milik orang lain ! Aku yakin, selagi kita pergi tadi, ada seseorang yang masuk ke rumah kardus ini, dan menjatuhkan isi tasnya,” kata Izal.
“Tapi ka, aku benar-benar kelaparan, mungkin ini rezeki dari Tuhan. Ayolah Ka, izinkan kami memakan dendeng ini, kami sudah tidak makan dari kemarin,” kata anak laki-laki yang lain, sepertinya ia hampir menangis.
Izal terdiam. Ia melihat ke sekililing rumah kardus, dan matanya sempat berhenti dan melihat ke arahku yang mengintip lewat jendela rumah kardus itu. Izal pun menarik napas dalam-dalam.
“Baiklah, makan saja,” kata Izal dengan nada terpaksa.
Anak-anak yang berada di rumah kardus itu pun langsung berebutan makanan. Aku khawatir Izal melihatku tadi. Tapi sepertinya ia tidak melihatku, karena jika ia melihat, seharusnya ia meneriakiku atau semacamnya, tapi ia tidak melakukan apa pun untuk membuatku berhenti mengintip.
“Setelah makan, kalian temui Pak Bagus ya, minta pekerjaan lagi sama Beliau, lumayan untuk membeli makan malam,” kata Izal lagi.
“Siap ka !” kata anak-anak itu bersamaan.
Mereka makan dengan lahap, hanya Izal yang tidak makan. Aku juga berpikir, Izal tidak makan karena mengalah pada anak-anak yang jauh lebih muda darinya. Ia hanya duduk, kini sambil membaca buku catatanku.
“Hei, ayo cepat masuk ! Ambil kembali isi tasmu itu !” kata Maudy.
“Aku tidak berani,” jawabku.
“Iya, lagipula, mereka sedang asyik makan, dengar yang tadi mereka katakan ? Mereka belum makan sejak kemarin, kasihan sekali, biarkan mereka selesai makan terlebih dahulu,” kata Diva.
Akhirnya aku dan teman-temanku pun menunggu. Mereka makan dengan sangat cepat, menandakan mereka sangat kelaparan. Setelah makan, mereka keluar dari rumah kardus itu dan berjalan menjauh, kecuali satu orang, Izal, tetap duduk di sudut rumah kardus sambil memegangi buku catatanku.
“Hei kalian, sudah aman bukan ? Ayo keluar ! Mau ambil barang-barang ini kembali kan ?” tanya Izal. Ia tahu bahwa kami mengintip !
Kami pun masuk ke dalam rumah kardus itu.
“Maaf ya, kalian tadi lihat, makanannya habis dimakan oleh adik-adikku,” kata Izal.
“Iya, tidak apa-apa kok. Mereka semuanya adik-adikmu ?” tanyaku.
“Tidak, mereka adik angkat. Mereka semua, sama denganku, yatim piatu, dan miskin. Tidak memiliki tempat tinggal, sehingga kami membangun rumah ini dari kardus-kardus bekas. Sebenarnya aku tidak ingin mengizinkan mereka untuk memakan makanan itu, karena kupikir, akan menjadi tidak halal jika pemilik makanan yang asli tidak tahu kalau makanannya di ambil orang lain, namun tadi aku melihat salah satu dari kalian mengintip dari jendela, aku yakin orang itu pasti pemilik tempat makanan dan minuman ini, jadi setidaknya sebelum adik-adik angkatku memakannya, pemilik aslinya sudah mengetahui bahwa makanannya ingin dimakan orang lain”
“Iya, tidak apa-apa, justru aku senang jika ada orang lain yang menyukai masakkan mbakku. Barang-barang yang terjatuh itu milikku, terima kasih sudah menyimpannya ya,”
“Tidak masalah, omong-omong, sedang apa kalian disini ?” tanya Izal lagi.
“Mengamen,” jawab Miranda dengan singkat.
“Hah ? Apa ? Mengamen ? Mungkin diantara kalian orang-orang kaya, istilah ‘mengamen’ memiliki arti yang berbeda dengan yang kami, anak miskin, pahami” tanya Izal.
“Sebenarnya sama saja, mengamen, menyanyi di pinggir jalan, meminta uang,” lanjut Harry.
“Untuk apa kalian mengamen ? Kalian jelas-jelas orang yang sangat kaya,”
“Ehm, sebelumnya, aku ingin mengklarifikasi, bahwa, aku tidak kaya, ya mungkin teman-temanku yang lain kaya, tapi aku tidak, aku sederhana. Lalu, kami mengamen untuk mendapatkan uang, karena sekolah kami ingin mengadakan pensi, dan kami membutuhkan uang yang sangat banyak untuk acara tersebut,” lanjutku.
“Oh begitu, lalu apakah kalian berhasil mendapatkan banyak uang ?” tanya Izal lagi.
“Lumayan untuk hari ini,” kata Andhika.
“Berapa lama kalian ingin terus mengamen seperti itu ?”
“Sampai target uangnya terpenuhi,” jawab Diva.
“Oh ya, kita belum kenalan, namaku Lina, dan ini teman-temanku, Diva, Linda, Andhika, Dimas, Shalu, Maudy, Miranda, Anggit, dan Harry,” kataku sambil menunjuk ke arah teman-temanku satu per satu.
“Ya, perkenalkan juga, namaku Izal,” kata Izal kemudian.
“Baiklah, kami permisi dulu ya, kami harus melanjutkan mengamennya,” kata Anggit.
“Iya, semoga dapat uang yang banyak ya,” jawab Izal.
Aku dan teman-temanku pun keluar dari rumah kardus itu. Sepanjang perjalanan aku berpikir, betapa beruntungnya aku, setidaknya aku tinggal di rumah yang bagus, ya meskipun tidak besar, tapi aku nyaman tinggal di rumahku. Aku juga memiliki kamar sendiri, meskipun kecil, namun aku benar-benar suka pada kamarku. Selain itu, aku tidak pernah sekalipun merasa kelaparan akibat tidak memiliki uang untuk makan, dan hingga saat ini, aku masih dapat bersekolah di sekolah yang bagus. Seringkali aku merasa, betapa malangnya hidupku, karena terkadang orang tuaku tidak membelikan barang keinginanku, namun setelah melihat dengan mata kepalaku sendiri, anak-anak di rumah kardus itu, aku merasa, betapa jahatnya aku, jika dengan kehidupanku yang sekarang, aku masih berkeluh kesah, sedangkan masih banyak anak yang menginginkan hidup sepertiku sekarang ini.

 “Hei, aku merasa kasihan dengan anak-anak di rumah kardus itu,” kataku suatu saat ketika rapat pensi bersama teman-temanku.
“Aku juga kasihan pada mereka,” kata Diva.
“Aku punya ide, bagaimana kalau kita kumpulkan barang-barang bekas, dan makanan untuk mereka, kita bisa mengamen di jalanan di dekat rumah kardus itu, seperti kemarin-kemarin, lagipula penghasilan kita dengan mengamen di kawasan itu cukup besar bukan ?” kata Anggit.
“Benar juga  , tapi apa mereka tidak merasa sakit hati jika kita memberikan barang-barang bekas ? Kita dengar bahwa mereka berusaha mencari pekerjaan, tidak dengan meminta-minta, itu menunjukkan dengan jelas, bahwa mereka enggan di kasihani, sedangkan dengan kita memberikan pada mereka barang-barang secara cuma-cuma, itu akan membuat mereka seperti pengemis” kata Andhika.
“Betul juga. Aku punya ide ! Bagaimana kalau kita berikan barang-barang itu dan makanannya juga ketika mereka tidak ada di rumah kardus, seperti waktu mereka memakan dendeng daging punya Lina,” kata Maudy.
“Iya benar ! Ayo kita kumpulkan barang-barang bekas kita, aku juga akan meminta ibuku memasakkan sesuatu untuk mereka,” kata Linda.
“Oke ! Aku juga !” kataku kemudian.
Ketika pulang ke rumah, aku pun mulai mengumpulkan baju-bajuku yang sudah tidak terpakai, kebanyakan bukan karena sudah jelek, tapi karena sudah sempit. Selain itu, aku juga meminta tolong pada mbakku untuk memasakkan makanan. Aku dan teman-temanku mengamen di jalanan dekat rumah kardus. Kami meletakkan barang-barang bekas dan makanan di dalam rumah kardus ketika anak-anak yang tinggal di rumah kardus itu tidak ada. Setelah anak-anak itu kembali ke rumah kardus, maka aku dan teman-temanku akan mengintip dari jendela. Kami melihat betapa anak-anak rumah kardus itu sangat senang.
“Wah Tuhan baik sekali, Ia mengirimkan kita baju, buku, dan makanan enak ini,” kata seorang anak laki-laki.
Aku melihat ke arah Izal. Ia hanya diam. Seperti biasa, duduk di pojok rumah kardus. Kali ini sambil memegang secarik kertas. Sebenarnya kertas itu berisi pesan dariku dan teman-temanku.
----------Gunakanlah semua barang-barang ini, ini halal, dan masih bagus. Makanannya juga halal, makanlah. Tertanda: Anonim----------
Begitulah kira-kira isi pesan yang kami berikan melalui kertas itu. Kami memang tidak ingin anak-anak rumah kardus tahu kalau kami yang mengirimkan barang-barang itu, hanya supaya mereka tidak merasa dikasihani.
Kami melakukan hal tersebut hingga sebelas kali. Kami benar-benar puas ketika melihat senyuman anak-anak rumah kardus itu. Kebahagiaan tersendiri bagi kami.
********************************************************************
Namaku Izal. Seorang anak laki-laki berumur 15 tahun. Miskin. Tidak memiliki keluarga. Tidak memiliki rumah. Putus sekolah. Setiap hari pusing memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan sesuap nasi. Mungkin itu semua telah menjelaskan bagaimana aku. Selama bertahun-tahun aku hidup sendiri dan terlantar. Hingga suatu saat, aku bertemu dengan sekelompok anak-anak terlantar lain yang lebih muda dariku. Aku pun bermain bersama mereka, dan kami sepakat untuk membangun rumah dari kardus di daerah yang cukup tertutup oleh rumput liar yang panjang, di pinggir jalan besar daerah Jakarta. Aku tinggal di rumah kardus ini bersama 5 anak lain yang masih kecil. Mereka semua sama sepertiku, putus sekolah, namun jika mereka sekolah, pasti mereka sekarang duduk di kelas 4 atau 5 SD. Berbeda 4 atau 5 tahun dariku yang seharusnya kelas 9 SMP. Aku yang tertua diantara anak-anak di rumah kardus ini, jadi tanggung jawabku lebih besar. Aku mengganggap mereka seperti adikku sendiri. Jika ada makanan, aku akan mendahulukan mereka untuk memakan makanan itu. Jika kami diberi pekerjaan serabutan oleh penjaga toko makanan, restoran, atau pemilik toko bahan bangunan, maka aku akan mengawasi dengan ketat adik-adik angkatku. Aku merasa lebih baik setelah bertemu dengan mereka. Meskipun aku tetap miskin, namun setidaknya aku memiliki ‘keluarga’ di dekatku. Kami berbagi tawa dan tangis bersama. Kami tidak pernah meminta-minta. Sebelumnya adik-adik angkatku memang selalu meminta-minta untuk mencari uang supaya mereka bisa makan, namun setelah aku jelaskan, bahwa meminta-minta adalah pekerjaan pemalas, dan orang yang pemalas sampai kapan pun tidak akan berhasil, maka mereka tidak lagi meminta-minta. Mereka juga tidak mau dikasihani, mereka lebih memilih bekerja keras, daripada sekedar mendapatkan uang dan makanan gratis dari seseorang. Seperti hari ini, ada seseorang yang meletakkan banyak sekali pakaian, buku, dan barang-barang lain. Aku tahu itu barang-barang bekas, tapi semuanya masih bagus dan dapat dipakai. Selain itu ada banyak makanan enak. Orang yang meletakkan barang-barang ini menyertai surat yang menyatakan bahwa kami harus menggunakan barang-barang ini, ia juga mengatakan bahwa makanannya halal. Maka ketika salah satu adik angkatku, Nadia, bertanya:
“Ka Izal, apakah kami boleh memakan makanan ini ? Kami tidak membayar atau bekerja untuk makanan dan semua barang ini. Apakah tidak apa-apa ? Apakah kami pemalas ?”
Aku pun menjawab “Tidak, kalian bukan pemalas. Itu hadiah dari Tuhan, kalian harus memakannya. Jangan lupa untuk berbagi dengan adil ya, seperti yang biasa aku ajarkan pada kalian,”
Adik-adik angkatku terlihat sangat senang. Bahkan, salah satu adik angkatku yang lain, Radit, berkata: “Wah Tuhan baik sekali, Ia mengirimkan kita baju, buku, dan makanan enak ini,”
Aku hanya bisa tersenyum menanggapi kesenangan adik-adik angkatku itu. Aku tidak dapat menerka siapa yang memberikan kami semua barang dan makanan ini, namun sepertinya aku tahu tulisan tangan di surat ini, tetapi aku lupa ! Ya ampun, aku ini pikun juga !

Suatu hari, aku dan adik-adik angkatku bekerja di restoran di pinggir jalan, kami menjadi pencuci piring. Adik-adik angkatku itu mencuci piring dengan sangat berantakan, hingga baju mereka basah semua. Aku menjadi khawatir. Mereka bisa sakit dengan baju-baju yang basah itu. Akhirnya, aku pun izin pulang ke rumah kardus untuk mengambilkan beberapa pakaian ganti adik-adik angkatku. Aku melihat anak-anak orang kaya itu, yang entah bagaimana masuk ke dalam kehidupanku dan adik-adik angkatku. Aku melihat mereka mengendap-endap ke rumah kardus. Aku tahu mereka tidak ingin mencuri, karena untuk apa mereka mencuri ? Padahal semua yang mereka inginkan bisa mereka dapatkan dengan mudah. Lagipula, tidak ada satu pun benda berharga di dalam rumah kardus kami. Aku pun berjalan mendekat, dan bersembunyi di balik di pohon di dekat rumah kardus. Aku melihat mereka membawa bungkusan dan meletakkan bungkusan itu ke dalam rumah kardus kami. Aku yakin itu bungkusan makanan, karena aku dapat melihat kotak putih makanan di dalam bungkusan itu. Jadi selama ini mereka yang memberikan kami semua barang dan makanan itu. Pantas sepertinya aku mengenal tulisan tangan orang yang memberikan pesan agar aku dan adik-adik angkatku menggunakan barang dan makanan yang mereka berikan, sepertinya orang yang menulis pesan itu sama dengan pemilik buku catatan yang terjatuh di rumah kardus waktu itu. Untuk apa mereka melakukan hal ini ? Pasti cukup menyusahkan bagi mereka, harus memastikan aku dan adik-adik angkatku tidak ada di rumah kardus, dan memasuki rumah kardus secara diam-diam. Aku pun membiarkan mereka, aku yakin mereka akan lelah sendiri memberikan kami sumbangan seperti itu.

Semakin hari, aku semakin bingung dengan anak-anak orang kaya itu. Mereka tidak berhenti memberikan makanan-makanan itu. Aku khawatir adik-adik angkatku akan mulai terbiasa dengan keadaan ini, dan menjadi lebih malas untuk bekerja, karena setiap hari mereka telah mendapatkan makanan yang enak dan sangat cukup dengan gratis. Sudah sebelas kali berturut-turut anak-anak orang kaya itu memberikan kami makanan, keadaan ini harus diperjelas. Aku pun berencana untuk tidak ikut bekerja bersama adik-adik angkatku hari ini. Aku ingin menangkap basah anak-anak orang kaya itu.
“Aku ada urusan hari ini, sepertinya aku tidak bisa ikut bekerja dengan kalian hari ini, maaf ya,” kataku pada adik-adik angkatku ketika mereka hendak pergi bekerja di toko matrial milik Pak Chen, seorang Tionghoa yang cukup berhasil.  Kami biasanya disuruh mengankut barang-barang matrial ke dalam truk untuk kemudian di antarkan kepada konsumen. Meskipun badan-badan kami kecil, tetapi tenaga kami cukup kuat untuk mengangkat barang-barang matrial yang berat itu.
“Baiklah Ka Izal, semoga urusanmu cepat selesai,” kata Diana, salah satu adik angkatku yang perempuan.
Aku pun menunggu cukup lama di bawah pohon dekat rumah kardus, aku menunggu sambil membaca buku IPA kelas 7 yang disumbangkan oleh anak-anak orang kaya itu. Aku melihat tulisan tangan di buku IPA tersebut, tulisannya cukup rapi, berbeda dengan tulisan tangan di pesan yang mereka berikan pada kami. Aku kurang mengerti pelajaran IPA kelas 7 itu. Ada nama-nama yang baru kudengar, seperti Paramecium, Flagellata, dan lain-lain. Aku tidak begitu mengerti, karena aku hanya bersekolah sampai kelas 6 SD, aku tidak melanjutkan ke SMP, karena masalah klasik, uang. Jika aku bisa bersekolah seperti anak-anak lainnya, mungkin hidupku akan menjadi lebih baik. Aku tahu, sekolah dasar dan sekolah menengah pertama sekarang ini gratis, namun jika aku bersekolah, bagaimana dengan adik-adik angkatku ? Mereka harus bekerja sendirian, kasihan mereka. Aku pun memutuskan untuk memilih bekerja daripada bersekolah, lagipula, jika aku tamat SMP nanti, aku tidak akan bisa melanjutkan sekolahku lagi, karena SMA tidak lagi gratis, darimana aku dapat uang untuk membayar sekolahku ? Padahal aku ingin menjadi dokter, itu impianku sejak dulu, menolong orang pasti akan menyenangkan, tapi itu hanya sebatas impian. Satu hal yang berbahaya bagiku adalah bermimpi. Orang miskin sepertiku tidak layak untuk bermimpi. Aku sudah susah dengan kehidupanku yang sekarang, aku akan merasa semakin susah jika menambahkan impian-impian tinggi di dalam kehidupanku.
Aku mendengar suara bisikan.
“Hei, pelan-pelan, jika seseorang tahu kita mengendap-endap seperti ini, kita akan dikira mencuri,” kata seorang anak laki-laki.
“Iya iya, aku tahu, ayo cepat kita selesaikan ini,” kata seorang anak perempuan.
Aku pun berjalan mendekat pada mereka.
“Kenapa kalian melakukan itu ?” tanyaku pada mereka. Sepertinya mereka sangat terkejut ketika melihatku.
“Kalian memberikan makanan pada kami selama sebelas kali berturut-turut, dan hari ini yang ke dua belas ? Untuk apa kalian melakukan itu ? Kami tidak pernah meminta pada kalian. Kami tahu, kami sangat miskin, tapi kami tidak pernah meminta apa pun pada kalian,” lanjutku bertubi-tubi.
“Ehm ah itu, ehm maaf, ehm………..” kata seorang anak perempuan yang berbicara terbata-bata.
“Maafkan kami, kami sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggung perasaan kalian dengan memberikan kalian makanan dan barang-barang itu, kami hanya bermaksud membantu,” kata seorang anak laki-laki.
“Sudahlah, aku juga tidak tahu diri, kalian memberikan kami bantuan, tetapi aku malah marah-marah pada kalian. Aku juga minta maaf. Aku hanya ingin kalian tahu, tindakan kalian membuat adik-adik angkatku selalu mengharapkan bantuan dari kalian. Ini akan menjadi lebih buruk jika mereka mulai malas bekerja karena mendapatkan makanan dan barang-barang gratis. Aku tidak mau hal itu terjadi pada adik-adik angkatku. Aku telah susah payah mengajarkan pada mereka untuk selalu berusaha keras jika menginginkan sesuatu, terutama masalah makanan, tetapi secara tidak langsung, kalian memberikan mereka jalan mudah untuk mendapatkan makanan itu, tanpa berusaha, itu akan memberikan dampak negatif bagi mereka,” kataku panjang lebar.
“Baiklah, ini akan menjadi yang terakhir bagi kami untuk memberikan bantuan secara gratis, selebihnya, kalian harus membayar,” kata seorang anak perempuan.
“Maksudmu ?” kataku dan semua anak-anak orang kaya itu secara bersamaan.
“Kamu pasti tahu kalau kami mengamen untuk mencari tambahan dana supaya pensi kami dapat berjalan dengan baik. Aku meminta tolong pada kalian, untuk membantu kami mencari uang, tidak perlu dengan mengamen, karena kulihat, kalian tidak suka mencari uang dengan cara mengamen. Jika kalian membantu kami, kami akan memberikan makanan pada kalian sebanyak 3 kali sehari, dan kami juga akan memberikan barang-barang kami yang masih bagus untuk kalian. Kalian tidak harus memberikan semua penghasilan kalian untuk kami, kita dapat berbagi hasil,”kata anak perempuan itu lagi.
“Ide yang bagus !” kata seorang anak laki-laki yang lain.
“Baiklah, aku setuju, aku akan rundingkan dengan adik-adik angkatku yang lain,” kataku.

Ketika malam tiba, aku menjelaskan semuanya pada adik-adik angkatku. Mereka menerima dengan senang hati ide anak perempuan itu. Aku memperingati adik-adik angkatku untuk bekerja keras supaya dapat memperoleh uang yang banyak.
********************************************************************
Kami berhasil memberikan anak-anak rumah kardus itu makanan dan barang-barang sebanyak sebelas kali berturut-turut tanpa masalah. Cara mengendap-endap dan memberikan makanan secara diam-diam itu sangat berhasil. Anak-anak rumah kardus itu tidak tahu siapa yang memberikan mereka makanan, dan mereka bisa dengan santai memakan makanan-makanan itu. Tetapi suatu masalah terjadi, ketika untuk yang ke dua belas kalinya aku dan teman-temanku ingin memberikan makanan dan barang-barang itu, Izal, anak tertua di rumah kardus itu menangkap basah kami ! Aku ingat jelas kejadian tadi sore, ketika Izal memergoki kami memasuki rumah kardus secara diam-diam dan meletakkan makanan di dalamnya.
“Kenapa kalian melakukan itu ?” tanya Izal pada kami.
“Kalian memberikan makanan pada kami selama sebelas kali berturut-turut, dan hari ini yang ke dua belas ? Untuk apa kalian melakukan itu ? Kami tidak pernah meminta pada kalian. Kami tahu, kami sangat miskin, tapi kami tidak pernah meminta apa pun pada kalian,” lanjut Izal.
“Ehm ah itu, ehm maaf, ehm………..” kata Shalu dengan terbata-bata.
“Maafkan kami, kami sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggung perasaan kalian dengan memberikan kalian makanan dan barang-barang itu, kami hanya bermaksud membantu,” kata Andhika.
“Sudahlah, aku juga tidak tahu diri, kalian memberikan kami bantuan, tetapi aku malah marah-marah pada kalian. Aku juga minta maaf. Aku hanya ingin kalian tahu, tindakan kalian membuat adik-adik angkatku selalu mengharapkan bantuan dari kalian. Ini akan menjadi lebih buruk jika mereka mulai malas bekerja karena mendapatkan makanan dan barang-barang gratis. Aku tidak mau hal itu terjadi pada adik-adik angkatku. Aku telah susah payah mengajarkan pada mereka untuk selalu berusaha keras jika menginginkan sesuatu, terutama masalah makanan, tetapi secara tidak langsung, kalian memberikan mereka jalan mudah untuk mendapatkan makanan itu, tanpa berusaha, itu akan memberikan dampak negatif bagi mereka,” kata Izal lagi.
“Baiklah, ini akan menjadi yang terakhir bagi kami untuk memberikan bantuan secara gratis, selebihnya, kalian harus membayar,” kataku.
“Maksudmu ?” kata Izal dan semua teman-temanku secara bersamaan.
“Kamu pasti tahu kalau kami mengamen untuk mencari tambahan dana supaya pensi kami dapat berjalan dengan baik. Aku meminta tolong pada kalian, untuk membantu kami mencari uang, tidak perlu dengan mengamen, karena kulihat, kalian tidak suka mencari uang dengan cara mengamen. Jika kalian membantu kami, kami akan memberikan makanan pada kalian sebanyak 3 kali sehari, dan kami juga akan memberikan barang-barang kami yang masih bagus untuk kalian. Kalian tidak harus memberikan semua penghasilan kalian untuk kami, kita dapat berbagi hasil,” kataku lagi, entah darimana ide itu aku dapatkan. Aku hanya ingin menyumbang tanpa ada orang yang merasa tersinggung.
“Ide yang bagus !” kata Dimas.
“Baiklah, aku setuju, aku akan rundingkan dengan adik-adik angkatku yang lain,” kata Izal kemudian.
Aku sampai tidak bisa tidur karena merasa tidak enak pada Izal dan anak-anak rumah kardus lain. Keputusannya besok, apakah Izal dan anak-anak rumah kardus mau bekerja sama denganku dan teman-temanku atau tidak. Aku benar-benar merasa tegang.

Keesokan harinya, seperti biasa, kami pergi menuju jalan besar dekat rumah kardus untuk mengamen. Ketika siang hari, kami pun pergi menuju rumah kardus. Izal keluar dari dalam rumah kardus bersama adik-adik angkatnya.
“Baiklah, kami semua setuju atas usul kalian kemarin. Kami akan membantu kalian mencari uang untuk pensi kalian itu,” kata Izal mewakili semua anak-anak dari rumah kardus itu.
Kami semua tersenyum dan berjabat tangan. Aku dan teman-temanku memberikan makanan sebagai makan siang kepada anak-anak rumah kardus. Setelah itu, aku dan teman-temanku melanjutkan mengamen, sedangkan anak-anak rumah kardus pergi entah kemana. Mereka meminta kami untuk kembali ke rumah kardus jam lima sore. Saat itu, kami akan memberikan makan sore pada anak-anak rumah kardus, dan anak-anak rumah kardus akan memberikan sebagian penghasilan mereka hari itu. Ketika sore tiba, aku dan teman-temanku kembali ke rumah kardus dan memberikan 6 bungkus nasi Padang pada anak-anak rumah kardus itu. Izal mewakili adik-adiknya menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan pada kami. Sangat bagus. Cukup sepadan dengan 6 bungkus nasi Padang. Tetapi aku masih penasaran dengan pekerjaan yang dilakukan Izal dan adik-adik angkatnya itu. Aku berpikir untuk ikut dia bekerja.

Keeskokan harinya, aku dan teman-temanku datang ke rumah kardus untuk memberikan makan pagi.
“Izal, kemarin kalian bekerja apa ? Aku ingin ikut kalian bekerja, apakah boleh ?” tanyaku pada Izal.
“Pekerjaan kami macam-macam, dan pasti akan melelahkan, lebih baik tidak usah, kamu akan kelelahan,” kata Izal kemudian.
“Tidak apa-apa, aku ingin mencobanya, boleh ya ?” kataku memohon.
“Tapi, apakah teman-temanmu tidak akan marah jika kamu tidak ikut mengamen dengan mereka ?”
“Aku akan meminta izin pada mereka,” kataku. “Tunggu sebentar,” lanjutku dan berjalan mendekati teman-temanku.
“Teman-teman, aku mohon, untuk hari ini, izinkan aku untuk ikut anak-anak rumah kardus itu bekerja, aku akan mencari uang yang banyak,” kataku pada teman-temanku.
“Tidak bisa begitu ! Kamu kan ketua panitia ! Masa ketua panitianya pergi ?” kata Dimas.
“Masih ada Diva bukan ? Dia wakil, dan dia dapat diandalkan. Aku benar-benar ingin tahu apa pekerjaan anak-anak rumah kardus itu. Aku mohon, izinkan aku. Aku penasaran,” kataku lagi.
“Sudahlah, biarkan saja Lina pergi bersama anak-anak itu, lagipula kita akan bertemu lagi nanti siang dan nanti sore. Tapi aku peringatkan Lina, kamu harus mencari uang sebanyak-banyaknya ya !” kata Andhika.
“Siap bos !” kataku sambil tersenyum dan berjalan menuju Izal.
“Teman-temanku sudah mengizinkanku ikut dengan kalian, ayo kita mulai bekerja !” kataku pada Izal.
“Baiklah,” jawab Izal.
Izal dan adik-adik angkatnya berjalan bersamaku menuju ke sebuah toko matrial. Selama di perjalanan, kami bercanda ria, dan tentu saja, kami telah mengenal satu sama lainnya. Aku tahu nama anak-anak itu sekarang. Ada yang bernama Radit, Nadia, Diana, Jasmine, dan Ari. Kami semua saling mengenal, mereka menerimaku dengan baik. Sesampainya di toko matrial, Izal berbicara dengan pemilik toko matrial itu.
“Pak, seperti biasa, aku membawa adik-adik angkatku dan seorang temanku untuk membantu mengangkat barang-barang matrial disini,” kata Izal.
“Baiklah, kebetulan sekali, sekarang pelanggan sedang banyak yang memesan batu bata, cepat kalian masukkan batu bata tersebut ke dalam truk yang itu ya,” kata pemilik toko matrial sambil menunjuk tumpukan batu bata.
“Baik, terima kasih Pak,” kata Izal lagi.
Aku dan anak-anak rumah kardus itu mulai mengangkat batu bata ke dalam truk. Sangat melelahkan karena aku harus bolak-balik untuk mengambil batu bata. Jika aku mengangkatnya langsung, aku akan sangat keberatan. Jadi, aku terpaksa bolak-balik untuk mengangkat batu bata sedikit-sedikit. Aku melihat anak-anak rumah kardus yang membawa batu bata dengan sangat banyak. Mereka sangat kuat. Meskipun badan mereka jauh lebih kecil dariku, namun mereka mampu mengangkat batu bata jauh lebih banyak dari yang mampu kuangkat. Aku benar-benar takjub dengan mereka. Selain mengankat batu bata, kami juga disuruh untuk memasukkan semen kedalam truk. Cukup sulit bagiku untuk mengangkat sekop isi semen yang sangat berat itu, namun seperti biasa, anak-anak rumah kardus dapat melakukannya dengan mudah. Aku benar-benar sangat kagum pada mereka. Setelah itu, kami mengerjakan banyak hal lainnya di toko matrial itu, seperti menggulung kabel yang sangat panjang. Mengangkat keramik. Menyapu lantai toko, dan lain sebagainya. Kami menghabiskan waktu yang sangat lama di toko matrial itu. Hingga siang hari, kami pun permisi untuk kembali ke rumah kardus. Pemilik toko matrial memberikan upah pada Izal, aku tidak tahu berapa persisnya uang yang diberikan pemilik toko matrial, ketika kutanya pada Izal, ia bilang akan memberitahunya di akhir, supaya hasilnya terlihat besar. Aku pun menurut saja. Kami sampai di rumah kardus untuk makan siang bersama. Tentu saja dengan teman-teman panitia pensi sekolahku juga. Setelah solat dzuhur, aku, Izal dan anak-anak rumah kardus lain melanjutkan bekerja. Kali ini kami menuju sebuah rumah makan yang tidak terlalu besar. Izal berbicara pada pemiliki rumah makan.
“Bu, kami ingin mencuci piring-piring kotor disini, apakah boleh ?” tanya Izal pada pemilik rumah makan.
“Baiklah, kebetulan sekali pelanggan banyak yang datang karena jam makan siang. Kalian langsung saja ke belakang,” kata Ibu pemilik rumah makan.
Kami pun pergi ke dapur rumah makan itu. Mulai mencuci satu per satu piring-piring dan gelas-gelas kotor yang sangat banyak. Kami melakukannya sambil berbincang-bincang dan tertawa. Aku benar-benar sangat nyaman berada di tengah-tengah anak-anak rumah kardus ini. Aku melihat mereka meskipun sambil bercanda, tetapi tetap mencuci dengan cepat dan bersih. Sedangkan aku, butuh waktu yang cukup lama untuk mencuci piring-piring itu, karena aku terlalu khawatir piring atau gelasnya pecah. Kami tidak membuang waktu sangat lama di rumah makan itu. Setelah mencuci piring selesai, kami pergi ke sebuah bengkel mobil. Seperti biasa, Izal berbicara dengan pemilik bengkel.
“Pak, apakah ada pekerjaan untuk kami disini ? Kami benar-benar sangat membutuhkannya hari ini,” tanya Izal dengan muka memelas.
“Ehm mungkin kalian bisa mencuci mobil-mobil disana ?” tanya pemilik itu.
“Akan kami lakukan dengan sebaik-baiknya,Pak,” jawab Izal dengan meyakinkan.
“Baiklah, silakan mulai bekerja,” kata Bapak pemilik bengkel mobil.
Aku dan anak-anak rumah kardus mulai mencuci mobil-mobil yang berjejer di bengkel itu. Kami mengenakan pakaian khusus untuk mencuci mobil. Meskipun ukurannya kebesaran untukku dan anak-anak rumah kardus, namun kami tetap mengenakannya. Seperti biasa, kami bekerja sambil tertawa dan berbincang-bincang, namun kami juga tetap memerhatikan pekerjaan kami. Jangan sampai ada yang salah atau semacamnya. Benar-benar melelahkan mencuci mobil yang begitu besar. Aku harus memanjat tangga untuk dapat mencuci bagian atas mobil mini bus dengan benar. Aku jadi harus turun-naik tangga. Aku hanya berdoa agar berat badanku turun, aku memang cukup gendut, dan aku kurang suka dengan badanku yang gendut ini, karena ini menyulitkanku untuk memilih baju. Tetapi tetap saja aku harus bersyukur pada Tuhan atas tubuh yang Ia berikan padaku, aku hanya berusaha membuat tubuhku lebih sehat, terlalu gendut merupakan penyakit. Jadi, aku harus menurunkan berat badanku.
Pukul lima sore, kami kembali ke rumah kardus. Izal mengatakan, penghasilan kami hari ini seratus lima puluh ribu rupiah. Ya ampun, benar-benar sulit mencari uang. Aku sudah sangat kelelahan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan itu, namun hanya mendapat seratus lima puluh ribu rupiah. Tetapi aku tetap harus bersyukur, karena hari ini, aku telah mendapatkan sesuatu yang lebih berharga daripada uang, yaitu persahabatan dan rasa kekeluargaan dengan anak-anak rumah kardus, selain itu, aku juga mendapatkan pengalaman bekerja di toko matrial, rumah makan, dan bengkel mobil, yang pastinya, akan sulit didapatkan oleh anak SMP yang lain. Izal menyerahkan uang seratus ribu rupiah pada Andhika.
“Itu terlalu banyak, Zal. Seharusnya kamu bagi tujuh puluh lima ribu saja pada kami,” kataku.
“Itu aku lakukan jika kamu tidak ikut bekerja dengan kami, karena kamu juga ikut membantu, maka bagian untuk kalian lebih banyak,” kata Izal.
Izal memang baik. Setelah itu, kami makan sore bersama, tentu saja makanannya aku dan teman-teman panitia pensi sekolahku yang membelikannya.
Kami bekerja sama seperti itu selama 2 minggu. Setelah itu, kami tidak lagi bekerja sama maupun menyumbang pada anak-anak rumah kardus itu, karena kami harus fokus pada acara pensi yang tinggal seminggu lagi. Sedangkan anak-anak rumah kardus itu, tidak mau menerima sumbangan kami secara cuma-cuma. Kami jadi hilang kontak dengan anak-anak rumah kardus, karena tidak ada waktu untuk mengunjungi mereka lagi.
********************************************************************
Sayang sekali kerja sama dengan anak-anak orang kaya itu hanya berlangsung 2 minggu. Mereka semua anak orang kaya yang baik. Tetapi di antara mereka, mengapa ada anak yang mau bersusah-susah ikut aku dan adik-adik angkatku bekerja macam-macam ? Nama anak itu Lina, dia sepertinya haus akan pengalaman. Selama bekerja bersamaku dan adik-adik angkatku, ia banyak bertanya.Tetapi aku senang bisa menjawab semua pertanyaan anak yang haus akan pengalaman itu. Hari ini, seperti biasa, aku dan adik-adik angkatku pergi bekerja dari pagi hari. Kami pulang ke rumah kardus pada siang hari untuk makan siang seadanya dan solat dzuhur. Saat pulang itu, aku kaget sekali melihat anak-anak orang kaya itu berdiri di depan rumah kardus. Tetapi kali ini, anak yang bernama Lina itu tidak ikut.
“Eh kalian, sedang apa disini ? Seharusnya kalian sibuk mengurusi pensi sekolah kalian yang tinggal sebentar lagi, bukan ?” tanyaku pada anak-anak orang kaya itu.
“Iya, kami menyempatkan waktu kesini untuk berterima kasih. Lina tidak bisa ikut, karena ia sedang tidak enak badan, namun ia menyampaikan salamnya juga untuk kalian,” kata anak laki-laki yang kutahu bernama Anggit.
“Lina sakit ? Wah semoga ia cepat sembuh ya,” kataku kemudian.
“Selain itu, kami kesini untuk mengundang kalian agar menonton pensi kami hari Minggu ini,” kata anak perempuan yang 2 minggu lalu mengenalkan dirinya sebagai Miranda.
“Hahahaha, kalian ini ada-ada saja, kalian tahu, kami ini anak miskin yang tidak akan mampu membayar tiket masuk, selain itu, pakaian kami pasti akan sangat memalukan,” kataku sambil tertawa.
“Tenang saja, masalah tiket masuk, kami akan menggratiskannya untuk kalian. Kalian juga akan kami jemput, agar kalian tidak kesusahan untuk menemukan sekolah kami yang menjadi tempat terselenggaranya acara pensi,” kata anak yang di name tagnya tertulis nama ‘Harry’.
“Kalian mengetahui dengan sangat jelas bahwa aku tidak suka mendapatkan sesuatu dengan gratis tanpa usaha bukan ?” kata Izal.
“Kami tidak benar-benar menggratiskannya kok, kami ingin kalian melakukan sesuatu untuk kami,” kata anak yang kutahu bernama Maudy.
“Kalian ingin kami melakukan apa ?” tanyaku penasaran.
Mereka tersenyum…………..
********************************************************************
Hari ini pensi ! Wah, aku benar-benar tidak sabar ! Aku dan teman-temanku telah berjuang banyak agar pensi hari ini dapat terlaksana. Sekolah kami sangat penuh dengan anak-anak yang ingin menonton pensi. Panggung telah berdiri megah di ujung lapangan sekolah. Stand-stand makanan sudah berjejer di lapangan basket. Provost bertebaran dimana-mana untuk menjaga keamanan. Aku menggunakan HT loh ! Semacam walkie talkie, tetapi lebih keren ! Aku serasa menjadi orang intel yang bekerja dengan sangat keren, hahahaha. Ini benar-benar hari yang sudah aku dan teman-temanku tunggu-tunggu. Pensi berjalan cukup baik. Semuanya cukup teratur. Mulai dari sambutan-sambutan, aku ikut memberikan sambutan, karena aku ketua panitia, itu membuatku sedikit bangga, hahaha padahal aku tahu berbangga diri itu dosa. Aku harus mengubah sifatku yang itu. Setelah itu, ada penampilan tari saman dan cheerleader sekolahku. Mereka tampil dengan sangat mengagumkan. Aku benar-benar bangga pada mereka. Setelah itu, band-band featuring dan band-band audisi satu per satu menunjukkan kebolehan mereka. Mereka membawakan lagu-lagu ciptaan mereka sendiri. Sangat bagus !
Sebagai ketua panitia pensi, aku harus berjalan-jalan keliling lokasi pensi untuk memastikan teman-temanku di setiap sie bekerja dengan baik dan tak ada masalah.
“Menarilah dan terus tertawa….Walau dunia tak seindah surga...Bersyukurlah pada Yang Kuasa….Cinta kita di dunia…..Selamanya“ Tiba-tiba aku mendengar suara. Suara yang sangat indah dari atas panggung. Kupikir itu suara dari sebuah band atau paduan suara, tetapi setelah kulihat lebih jelas, disana, di atas panggung, Izal, Diana, Nadia, Radit, Ari, dan Jasmine berdiri. Mereka menyanyikan lagu ‘Laskar Pelangi’ dari Nidji.
“Tetes air mata… Mengalir di sela derai tawa. Selamanya kita… Tak akan berhenti mengejar…Matahari,” mereka menyanyikan lagu kedua, dan membawakan lagu ‘Mengejar Matahari’ dari Ari Lasso dengan sangat indah. Aku menatap mereka dengan lekat. Penampilan mereka sangat mengagumkan. Ketika kulihat sekelilingku, semua orang yang menonton pensi hari itu terlihat sangat kagum dengan suara anak-anak rumah kardus.
 “Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday, happy birthday, happy birthday to you…………..” mereka melanjutkan nyanyian mereka.
“Selamat ulang tahun kepada ketua panitia pensi ini, Lina, karena hari ini adalah hari ulang tahunnya. Semoga panjang umur, sehat selalu, dan semua keinginan baikmu terwujud” kata Izal.
“Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday, happy birthday, happy birthday to you…………..” Kini orang-orang yang menonton pensi ikut bernyanyi.
Aku benar-benar sangat kaget. Anak-anak itu tahu hari ini hari ulang tahunku.
“Lina, ayo maju ke panggung,” kata MC.
Aku pun dengan malu-malu maju ke atas panggung. Di atas panggung sudah berdiri Diva, Linda, Andhika, Dimas, Shalu, Maudy, Miranda, Anggit, dan Harry.
“Ini dari panitia,” kata Shalu sambil tersenyum dan memberikan bungkusan besar padaku.
Aku benar-benar sangat terharu. Teman-temanku menyalamiku satu per satu.
“Terima kasih untuk Allah SWT, yang telah memberikan hari indah ini padaku. Aku juga berterima kasih pada orang tuaku, guru-guru, dan pastinya semua teman-temanku di panitia pensi ini, terima kasih banyak. Terima kasih, terima kasih. Aku tidak tahu lagi cara berterima kasih pada kalian. Kalian benar-benar baik. Aku juga berterima kasih pada kalian semua yang hadir di pensi ini, maaf jika pensi ini sedikit terganggu karena ulang tahunku. Terima kasih banyak sekali lagi” kataku kemudian.
Aku turun dari panggung. Hari itu adalah hari ulang tahun terbaik selama 15 tahun aku hidup di dunia ini. Aku benar-benar sangat bersyukur. Tuhan sangat baik padaku.
Pensi berjalan dengan cukup baik. Aku cukup puas. Semua yang datang juga terlihat sangat senang. Melihat senyum orang-orang itu, memberikan kepuasan tersendiri padaku.
********************************************************************
Aku grogi sekali. Tapi ini perjanjian yang harus kutepati. Bernyanyi di panggung. Anak-anak orang kaya itu memintaku dan adik-adik angkatku untuk menyanyikan 2 buah lagu pop, dan sebuah lagu selamat ulang tahun untuk Lina. Kami menyetujuinya. Kami berlatih setiap hari, dan disini lah kami sekarang, di atas panggung. Mengenakan baju yang sangat bagus. Anak-anak orang kaya itu memberikan baju-baju ini untuk penampilan kami. Aku yakin harganya sangat mahal. Kami berusaha menampilkan yang terbaik. Pertama, kami menyanyikan lagu ‘Laskar Pelangi’ dari Nidji. Kami sangat tegang saat itu. Kemudian dilanjutkan dengan lagu ‘Mengejar Matahari’ dari Ari Lasso. Saat menyanyikan itu, kami mulai bisa mengendalikan rasa tegang kami. Terakhir, kami menyanyikan lagu ‘Happy Birthday’ untuk Lina. Lagu itu yang rasanya paling nyaman untuk kami nyanyikan. Kami memberikan selamat pada Lina. Aku melihat raut mukanya yang menunjukkan rasa kaget, malu, terharu, senang, dan tidak percaya yang bercampur baur. Ia memberikan pidato terima kasih dengan sangat baik.
Kami duduk-duduk di ruang untuk band-band featuring. Kami hanya duduk diam, karena kami tidak terbiasa dengan suasana seperti ini. Ini adalah pertama kalinya kami menonton pensi, apalagi bernyanyi di atas panggung dan dilihat orang banyak.
“Itu mereka,” kata Lina yang datang bersama seorang bapak.
Lina dan bapak itu berjalan mendekatiku dan adik-adikku.
“Selamat sore, perkenalkan, saya Ditya, panggil saja Pak Ditya,” kata bapak itu sambil menjabat tanganku.
“Sore Pak, saya Izal,” kataku kemudian.
Bapak itu berbicara panjang lebar denganku dan adik-adik angkatku, namun pembicaraan itu serasa mimpi bagiku. Tiap kata yang dilontarkan Pak Ditya, terasa sebagai letusan kembang api yang sangat indah. Tiap kalimatnya terasa bagaikan mendengarkan sebuah lagu yang indah. Bapak itu menawarkanku dan adik-adik angkatku untuk menjadi penyanyi ! Ia juga menjamin sebuah apartment untuk tempat tinggal kami ! Dan kami akan disekolahkan ! Aku mencoba menyubit tanganku, dan terasa sakit. Baiklah, ini bukan mimpi. Aku sangat kaget. Impianku untuk sekolah selama ini terkabul ! Tentu saja tanpa berpikir 2 kali, aku menerima tawaran emas itu.
Aku dan adik-adik angkatku dilatih bernyanyi setiap hari. Kami bernyanyi sebagai kelompok vokal dengan jenis suara bervariasi. Aku dan adik-adik angkatku benar-benar tinggal di sebuah apartment mewah dan bersekolah di sekolah yang mahal. Awalnya aku sempat kesulitan dengan pelajaran SMP, namun aku mencoba belajar terus, dan akhirnya sedikit-sedikit aku bisa mengejar ketinggalanku. Impianku untuk sekolah menjadi kenyataan. Sepertinya dulu aku salah. Setiap orang berhak memiliki impian, baik yang kaya maupun yang miskin. Impian bukanlah bencana. Impian harus dijadikan motivasi untuk berhasil, dan aku belajar itu dari hidupku sendiri. Aku tidak akan pernah lagi menghalangi otakku untuk memiliki impian. Mulai hari ini, aku akan berusaha keras, agar suatu saat nanti, impianku untuk menjadi dokter dan menolong banyak orang bisa tercapai. Amin


SELESAI

Comments

Popular Posts